The 2nd World Parliamentary Forum on Sustainable Development Energi Hijau Menuju SDGs
Berita Utama - Rabu, 12 September 2018
Bali – Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menekankan pentingnya ekonomi hijau melalui pemanfaatan energi baru dan terbarukan untuk mengurangi eksploitasi bahan bakar fosil. Selain itu, ekonomi hijau juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas bagi tenaga kerja Indonesia. Menurut data International Renewable Energy Agency, pada 2014, sebanyak 223.000 tenaga kerja di Indonesia bekerja di sektor energi baru dan terbarukan. Pada 2025, angka tersebut diproyeksikan meningkat hingga 323,000 pekerja. “Pemerintah telah memetakan potensi Indonesia untuk memproduksi energi baru dan terbarukan, yakni sebanyak 441.7 Giga Watt (GW) dari sumber energi air, tenaga surya, angin, bio-energi, geotermal, dan samudera. Saat ini, Indonesia hanya memanfaatkan dua persen dari potensi energi tersebut. Oleh karena itu, kita harus lebih mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan. Pemerintah Indonesia sudah memetakan proyek dan potensi energi baru dan terbarukan di seluruh Indonesia, dan kami melihat bahwa Indonesia memiliki sumber daya untuk memproduksi energi tersebut,” ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam 2nd World Parliamentary Forum on Sustainable Development: “Partnership towards Sustainable Energies for All” yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Bali, Rabu (9/12).
Mengingat potensi besar yang dimiliki untuk memproduksi energi baru dan terbarukan, Indonesia sudah menyusun sejumlah strategi untuk pengembangan energi tersebut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, di antaranya: 1) Implementasi kebijakan insentif dan harga untuk mendorong investasi di bidang energi baru dan terbarukan; 2) Peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan untuk pembangkit listrik; dan 3) Peningkatan penggunaan biofuel untuk transportasi melalui fuel-blending biodiesel dan bioetanol. Indonesia juga telah menyusun Kebijakan Energi Nasional dengan fokus pada peningkatan komposisi bauran energi (energy mix), terutama energi baru dan terbarukan. Saat ini, Indonesia tengah menyeimbangkan komposisi bauran energi dengan meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan dari 7 persen pada 2015, menuju 23 persen pada 2025, hingga 31 persen pada 2050. Secara bersamaan, subsidi bahan bakar minyak juga dikurangi sehingga anggaran dapat digunakan untuk memberikan subsidi langsung bagi masyarakat yang membutuhkan dan mendanai energi baru dan terbarukan.
Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, potensi Indonesia dalam memanfaatkan energi baru dan terbarukan akan dimaksimalkan. Indonesia berencana untuk membangun pembangkit listrik yang menggunakan sumber daya alam seperti tenaga surya dan angin di sejumlah lokasi. Pengembangan pembangkit listrik tersebut akan meningkatkan kontribusi energi baru dan terbarukan dalam komposisi bauran energi Indonesia. Pada 2025, pembangkit listrik tersebut dapat memproduksi energi sebanyak 45 GW. Indonesia akan terus membangun pembangkit listrik dengan menggunakan energi baru dan terbarukan tersebut, dengan estimasi produksi energi sebesar 169 GW pada 2050. “Untuk memastikan Indonesia mampu memperkerjakan lebih banyak orang di bidang energi baru dan terbarukan, pemerintah harus menyusun strategi dalam mencocokkan tenaga kerja dan lapangan kerja di bidang tersebut. Pendidikan tinggi sangat memegang peranan penting untuk menghasilkan lulusan yang dapat merespons permintaan ini,” tutur Menteri Bambang. Pusat-pusat penelitian energi baru dan terbarukan kini mulai berkembang di sejumlah universitas di Indonesia, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, dan banyak lainnya. Fokus utama pendidikan dan penelitian energi baru dan terbarukan adalah tenaga surya, geotermal dan bioenergi, juga nanostructured material, penyimpanan energi dan thermo-conversion.
Tantangan terbesar Indonesia dalam mengimplementasikan Goal 7: Affordable and Clean Energy dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) adalah keterjangkauan, reliabilitas, dan sumber energi. Pada 2017, 97 persen rumah tangga Indonesia memiliki akses listrik. Pada 2020, angka tersebut diprediksi meningkat hingga 100 persen. Permintaan atas listrik akan terus meningkat, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan ppulasi, serta naiknya rumah tangga menengah dan tinggi. Saat ini, Indonesia mengonsumsi lebih dari 1,000 kilo watt hour (kWh) per kapita dan pada 2025, Indonesia diprediksi akan mengonsumsi 2,500 kWh per kapita. Peningkatan tersebut berarti negara tidak lagi dapat bergantung pada bahan bakar minyak yang terbatas sebgai sumber utama penghasil listrik sehingga sejalan dengan target SDGs, Indonesia harus bergeser untuk menggunakan energi baru dan terbarukan dan mengimplementasikan energi hijau. “Untuk Indonesia, SDGs digunakan sebagai kerangka komprehensif, tak hanya untuk memetakan isu energi hijau dengan tepat, tetapi juga untuk meningkatkan kemakmuran dan mengurangi ketimpangan. Indonesia juga sudah mengarusutamakan SDGs ke RPJMN 2015-2019,” tegas Menteri Bambang.
Indonesia menempatkan 17 gol, 169 target, dan 241 indikator SDGs sebagai acuan untuk mengurangi ketimpangan dan memberantas kemiskinan secara lebih sistematis dan tepat sasaran. Pengurangan ketimpangan di Indonesia direfleksikan dengan menurunnya koefisien gini dari 0.410 pada 2012 ke 0.389 pada 2018. Indonesia juga berhasil menurunkan tingkat kemiskinan, dari 11.25 pada 2014 ke 9.82 pada 2018. Indeks Pembangunan Manusia juga meningkat dari 70.81 pada 2017 menuju 70.18 di 2016, sementara Tingkat Pengangguran menurun dari 5.70 persen pada 2014 menjadi 5.13 persen di 2018. Pertumbuhan ekonomi antarwilayah di Indonesia juga meningkat secara bertahap. Sebagai upaya mengurangi ketimpangan, Indonesia juga lebih fokus dalam perencanaan infrastruktur dan pembangunan konektivitas. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia telah membangun sejumlah bandara baru, membuka jalur baru tol laut, meningkatkan panjang jalan tol, hingga membangun jalur kereta api baru. Titik berat fokus pembangunan infrastruktur terutama terletak pada daerah perbatasan, terisolasi, dan terluar. Atas usaha tersebut, mengacu pada data Global Competitiveness Index 2017- 2018, Indeks Daya Saing Infrastruktur Indonesia meningkat dari 61 pada 2013 ke 52 pada 2017.
Saat ini, pemerintah Indonesia mengembangkan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Tercatat 19 proyek infrastruktur sudah menggunakan skema pendanaan tersebut, tiga di antaranya fokus pada sektor energi seperti kelistrikan, energi baru dan terbarukan, juga konservasi energi. Selain skema KPBU, Indonesia juga mengembangkan Blended Finance, skema strategis untuk memobilisasi pendanaan tambahan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di negara berkembang. Dengan skema ini, dana publik, swasta, dan komersial dapat berkontribusi untuk mendanai proyek-proyek pencapaian target SDGs. Pencapaian pendidikan, energi, dan industri, juga sektor inovasi untuk meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan kemakmuran masyarakat membutuhkan dukungan dan kontribusi dari para pemangku kepentingan. Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) menyebutkan bahwa anggota dewan memiliki kesempatan dan kewajiban konstitusional untuk berperan signifikan dalam mendukung dan mengawasi implementasi SDGs. “The Agenda 2030 Declaration menekankan pentingnya peran anggota dewan untuk menjalankan fungsi legislasi dan anggaran, juga memastikan akuntabilitas dan efektivitas implementasi komitmen tersebut. Dengan demikian, anggota dewan memiliki posisi yang sangat unik untuk bertindak sebagai perantara rakyat dan institusi negara, untuk mendorong dan mengadopsi kebijakan serta legislasi yang berpihak pada kepentingan publik agar memastikan prinsip no one is left behind bisa tercapai,” tutup Menteri Bambang.