Pro-Kontra Menghidupkan GBHN Pasca Reformasi
Berita Pembangunan - Senin, 07 Maret 2016
JAKARTA – Fraksi PKS DPR-RI mengadakan FGD yang membahas topik “Relevankah GBHN Pasca Reformasi”, pada Kamis (3/3) di Gedung Nusantara I DPR-RI. Empat pembicara diundang dalam acara tersebut, antara lain: Moh. Mahfud MD, Yudi Latif, Hidayat Nur Wahid, serta Staf Ahli Kementerian PPN/Bappenas Bambang Prijambodo, masing-masing mengemukakan pandangannya terkait wacana menghidupkan kembali GBHN.
Dalam sambutannya, Ketua Fraksi PKS DPR-RI, Jazuli Juwaini mengemukakan urgensi untuk menghidupkan GBHN sebagai haluan negara yang menentukan arah pembangunan bangsa. Selain itu, dengan GBHN pembangunan nasional yang menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia dapat berjalan berkesinambungan dan terarah.
Selanjutnya Bambang Prijambodo menyampaikan pandangan Bappenas, “Intinya Bappenas memandang penting adanya haluan negara. Masalah-masalah jangka panjang, kita pikirkan bersama. Apakah GBHN bentuknya secara substansi dan nama, tugas Bappenas adalah mempersiapkan sebaik-baiknya sedini mungkin.”
Sementara itu, Pengamat Politik Yudi Latif beranggapan diskusi tentang garis besar haluan negara ini penting, terutama dimulai dari mempertanyakan demokrasi yang berjalan saat ini akan membawa negara ini kemana. Yudi sempat menyinggung bahwa wacana menghidupkan GBHN juga perlu diikuti dengan peran serta elemen masyarakat dalam segala prosesnya.
“Penyelewengan kekuasaan jatuh pada tampuk orang perorangan semakin besar kemungkinannya. Itu problem yang sifatnya pragmatis, sehingga pikiran untuk menghidupkan kembali GBHN ada dalam kepala kita. Hal ini perlu disusun dengan melibatkan seluruh elemen kekuatan rakyat untuk ikut mengembangkan GBHN. Masalah GBHN harus diletakkan dalam desain sistem kekeluargaan, dan hal-hal yang bersifat instrumental dapat diubah,” jelas Yudi.
Lebih lanjut dikatakan setelah Amandemen UUD RI 1945 keempat, terjadi perubahan struktur ketatanegaraan menjadi horizontal-fungsional yang menyebabkan MPR kehilangan mandat untuk menetapkan GBHN. Selain itu, sejak disahkannya UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), otomatis nama GBHN menghilang, meskipun esensi dan substansinya tetap ada dalam RPJPN dan RPJMN.
Guru Besar Hukum Tata Negara UI Mahfud MD kemudian memberikan penjelasan yang menitikberatkan pada konstitusi. Menurutnya, konstitusi Indonesia tidak menganut paham linear, sehingga pembangunan harus direncanakan melalui satu haluan negara. Ia menegaskan bahwa nama produk hukum untuk haluan negara Indonesia selama ini tidaklah tetap dan selalu berubah-ubah.
“Pada Zaman pemerintahan Presiden Soekarno garis-garis besar daripada haluan negara diberi nama Pembangunan Semesta Berencana. Ini berarti bahwa pada mulanya nama haluan negara itu bukanlah GBHN. GBHN hanyalah pilihan penamaan di pemerintah Orde Baru. Pada Era reformasi dinamakan SPPN,” jelas Mahfud MD.
Jadi menurutnya, sejak 1960 sampai sekarang Indonesia sebenarnya sudah mempunyai perangkat hukum untuk haluan negara meskipun nama resminya selalu berubah. Oleh sebab itu, tidak perlu lagi pemberlakuan GBHN, atau kalau nama itu dianggap memiliki nilai historis yang perlu dipertahankan, dapat dengan mengubah nama UU SPPN menjadi UU tentang GBHN. Jika muncul keinginan kuat kembali pada GBHN dengan baju TAP MPR, menurut Mahfud MD diperlukan lagi mengubah konstitusi.
Di akhir pertemuan, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyebutkan pimpinan MPR hanya dapat menunggu sampai ada sepertiga dari anggota MPR yang mengajukan usulan untuk menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen UUD 1945. Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah melakukan kajian visibility terhadap usulan haluan negara tersebut.