Bappenas Prioritaskan Konservasi Ekosistem Karbon Biru

Sebagai negara dengan mangrove terbesar di dunia, yakni 3,3 juta hektar, serta padang lamun terluas yang mencapai 293.000 hektar, Indonesia memprioritaskan ekosistem karbon biru atau blue carbon dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir, baik di Indonesia maupun global. Kedua ekosistem pesisir ini diperkirakan dapat menyimpan karbon alami (carbon sink) besar dalam waktu yang sangat lama, hingga 3,3 Gigaton atau 17 persen dari karbon biru global. Namun, perusakan ekosistem pesisir berpotensi melepaskan karbon dioksida ke perairan yang setara dengan 19 persen total emisi perusakan hutan tropis. 

“Menerapkan strategi nasional dan mengelola potensi besar ekosistem karbon biru di Indonesia tidak dapat dilakukan tanpa koordinasi dan integrasi dengan kementerian dan pemangku kepentingan utama lainnya yang terkait dengan karbon biru. Perlu standar pedoman dalam pengelolaan ekosistem karbon biru di tingkat regional dan nasional, juga perlu disusun dokumen kebijakan yang menjadi landasan hukum atau dokumen payung dalam pelaksanaan pengelolaan karbon biru di Indonesia,” jelas Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto yang mewakili Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas dalam side event “Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital” di Nusa Dua Convention Centre, Bali, (8/8), sebagai rangkaian 3rd G20 Development Working Group (DWG) Meeting.

Untuk merehabilitasi ekosistem karbon biru yang semakin terdegradasi, Pemerintah  Indonesia berkomitmen untuk memastikan ekosistem karbon biru tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Kebijakan strategis nasional memberikan pedoman bagi pengelolaan ekosistem karbon biru menjadi prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 dan tiga program prioritas. Pelaksanaan strategi nasional memerlukan aspek kelembagaan dan kebijakan yang memuat regulasi enabling environment, protokol nasional strategi dan rencana aksi karbon biru, dan data dasar untuk target NDC. Apabila ekosistem karbon biru dikelola dengan baik secara strategis untuk adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim, Indonesia dapat berkontribusi lebih untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29 persen secara nasional, dan 41 persen secara global hingga 2030.

Arifin juga menekankan pentingnya mengembangkan kerangka kerja dan implementasi semua kegiatan yang berkaitan dengan karbon biru, termasuk aspek pendanaan. Karbon biru dapat menggunakan pembiayaan reguler, seperti hibah pinjaman dan anggaran negara. Selain itu, sumber pembiayaan juga bisa menggunakan pembiayaan inovatif yang bersumber dari karbon biru itu sendiri. “Potensi karbon biru dapat dimasukkan dalam mekanisme perdagangan karbon yang menjual karbon bergradasi. Manfaat perdagangan tersebut dapat digunakan untuk membiayai beberapa sektor, seperti perikanan, konservasi, energi terbarukan, pengelolaan sampah, transportasi laut, dan ekowisata, juga dapat membiayai konservasi dan restorasi ekosistem karbon biru,” urai Arifin.

Turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, Deputy Country Director Agence Francaise De Developpement (AFD) untuk Indonesia Sophia Chappellet menyampaikan bahwa AFD mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan ekosistem karbon biru, salah satunya melalui kegiatan integrasi ekosistem karbon biru ke dalam kebijakan keanekaragaman hayati dan iklim Indonesia. Sebagai dukungan konkret, AFD berkomitmen memberikan pendanaan untuk implementasi ekosistem karbon biru di Indonesia.

Side event “Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital” juga dihadiri Counsellor-Development Effectiveness and Sustainibility Department of Foreign Affairs and Trade Australian Embassy Indonesia Simon Ernst, Interim Dean Alfred J. Verrecchia-Hasbro Leadership Chair of the College of Business University of Rhode Island Prof. Shaw K. Chen, dan Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas Gellwynn Jusuf yang seluruhnya membahas pembelajaran terkait pengelolaan karbon biru.

 

Tentang Development Working Group

Development Working Group (DWG) merupakan salah satu kelompok kerja dari Presidensi G20 Indonesia 2022 yang bertujuan untuk membahas isu-isu pembangunan di negara berkembang, negara tertinggal (Least Developed Countries/LDC) dan negara kepulauan (Small Island Developing States/SIDS). DWG pertama kali dibentuk melalui Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Toronto, Kanada pada 2010, dengan tugas utama untuk membahas agenda prioritas G20 dalam bidang pembangunan. DWG mengidentifikasi tantangan-tantangan pembangunan, untuk kemudian merumuskan solusi-solusi terbaik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dan berpendapatan rendah sebagai upaya mitigasi krisis finansial global. 

Di bawah Presidensi G20 Indonesia 2022, DWG mengangkat empat isu prioritas, yaitu (1) Memperkuat Pemulihan dari Pandemi COVID-19 dan Memastikan Resiliensi di Negara Berkembang, Negara Tertinggal, dan Negara Kepulauan melalui tiga pilar kunci UMKM,  Perlindungan Sosial Adaptif dan Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru melalui Pembangunan Rendah Karbon; (2) Meningkatkan Pembiayaan Swasta dan Campuran dalam Mendanai Pembangunan Berkelanjutan di Negara Berkembang, Negara Tertinggal, dan Negara Kepulauan; (3) Memperbarui Komitmen Global terhadap Multilateralisme untuk Pembangunan Berkelanjutan; dan (4) Mengoordinasikan Kemajuan Pencapaian SDGs di G20 dan Pemutakhiran Komitmen Pembangunan G20.

Sebagai focal point DWG, Kementerian PPN/Bappenas telah menyelenggarakan 1st  DWG Meeting di Jakarta pada 24-25 Februari 2022 dan 2nd Development Working Group Meeting di Yogyakarta pada 24-25 Mei 2022 secara hybrid. Agenda ketiga, 3rd Development Working Group Meeting diagendakan berlangsung di Bali pada 10-12 Agustus 2022. Presidensi G20 Indonesia 2022 juga akan menyelenggarakan Pertemuan Tingkat Menteri Pembangunan G20 di Belitung pada 7-9 September 2022.