Pentingnya Kesetaraan Pemahaman untuk Pencegahan Perkawinan Anak

Kementerian PPN/Bappenas menjadikan isu perkawinan anak sebagai salah satu fokus dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang akan menjadi payung kegiatan bagi Kementerian/Lembaga dalam lima tahun ke depan. Hal tersebut disampaikan Direktur Keluarga, Perempuan, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum dalam Diskusi Publik: Pendidikan Kesadaran Hukum untuk Penanganan Kasus Perkawinan Anak, Jumat (24/7).

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional, 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum berumur 18 tahun. Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan angka perkawinan anak nasional menjadi 8 persen dari 11,2 persen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, orang tua bertanggung jawab untuk mencegah perkawinan anak. Namun, banyak aspek yang menyebabkan masih terjadinya perkawinan anak. Mulai dari alasan ekonomi dan kemiskinan, nilai budaya, regulasi, globalisasi, hingga ketidaksetaraan gender.

Perkawinan anak jelas melanggar hak-hak anak, padahal Hak Asasi Manusia sudah dijamin oleh negara melalui UUD 1945 melalui pasal 28 ayat 1 dan 2.  Menurut penelitian UNICEF, anak yang mengalami perkawinan usia anak rata-rata hanya menempuh pendidikan sampai tingkat SMP atau sederajat. Selain itu, tingkat pekerja anak juga meningkat karena terpaksa harus bekerja untuk menghidupi anak dan keluarganya. Sebagian besar akan bekerja di sektor pertanian atau sektor informal lainnya.

Kementerian PPN/Bappenas membuat Strategi Nasional Perlindungan Perempuan dan Anak atau Stranas PPA dan kerja sama dengan Pemerintah Australia melalui program MAMPU dilakukan untuk mendukung upaya pencegahan perkawinan anak. “Kita ingin memperkuat upaya yang sudah dilakukan dan menemukan inovasi baru agar pencegahan perkawinan anak bisa dilakukan,” imbuhnya. 

Ada lima strategi yang akan dilaksanakan. Pertama, optimalisasi kapasitas anak supaya anak punya resiliensi dan bisa menjadi agen perubahan. Kedua, lingkungan sekitar dimulai dari yang terkecil yaitu keluarga, masyarakat sekitar, hingga sekolah diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman tentang upaya pencegahan perkawinan anak. Ketiga, aksesibilitas dan perluasan layanan, tidak hanya untuk pencegahan perkawinan anak, tetapi juga layanan untuk anak yang sudah menjalani perkawinan. Keempat, penguatan regulasi dan kelembagaan. Kelima, penguatan koordinasi antara pemangku kepentingan lintas sektor serta pemantauan dan evaluasi.

 

Pelaksanaan Stranas PPA sangat tergantung kondisi wilayahnya dengan menggunakan beberapa pendekatan mulai dari penguatan, akselerasi dan konsolidasi. “Pendidikan hukum menjadi sangat penting sebagai dasar untuk menyetarakan pemahaman di setiap wilayah untuk penanganan kasus perkawinan anak,” pungkas Woro.