Menteri Bambang: Percepatan Perbaikan Akses Air Minum dan Sanitasi Melalui Investasi Berbagai Sumber Pendanaan Tingkatkan Capaian ODF Sekaligus Manfaat Ekonomi dan Non-Ekonomi
Berita Utama - Selasa, 12 Februari 2019
MAKASSAR – “Sebagai kebutuhan dasar manusia dan prasyarat kehidupan yang sehat dan layak, air minum dan sanitasi menjadi salah satu prioritas pembangunan Indonesia. Komitmen ini ditunjukkan Pemerintah Indonesia dengan memasukkan pembangunan air minum dan sanitasi ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), hingga Sustainable Development Goals (SDGs). Kami menyadari pembangunan air minum dan sanitasi sangat erat kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, mencegah stunting, menghapuskan kemiskinan, meningkatkan produktivitas dan kualitas SDM, serta membangun perekonomian berkelanjutan,” jelas Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro sebagai pembicara kunci dalam acara Advocacy and Horizontal Learning (AHL): “Menuju ODF Provinsi dan Pengelolaan Air Limbah Domestik yang Aman - Penerapan Sanitasi Skala Kabupaten/Kota yang Inklusif”, Selasa (12/2), di The Rinra Hotel Makassar.
Hasil riset menunjukkan fasilitas pengelolaan air limbah domestik tidak layak dan kualitas air yang buruk berpengaruh pada kesehatan dan kemampuan kognitif seseorang di sepanjang kehidupannya, sehingga dapat menurunkan kualitas SDM yang menyebabkan kemiskinan antar generasi. Korelasi yang cukup tinggi terlihat pada kualitas akses sanitasi terhadap prevalensi stunting di provinsi sebesar 0,66. Korelasi signifikan juga terdapat pada peningkatan akses sanitasi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 0,95. Kajian World Bank juga memperlihatkan manfaat terhadap kesehatan dan nutrisi hanya diraih optimal, apabila diikuti dengan Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) atau Open Defecation Free (ODF) dan cakupan akses sanitasi yang layak di lebih dari 60 persen penduduk suatu daerah.
Buruknya sanitasi juga berdampak negatif terhadap ekonomi. Diperkirakan kerugian sanitasi yang buruk mencapai Rp 56 triliun atau 2,3 persen PDB tiap tahunnya. Studi juga menunjukkan kualitas sanitasi yang buruk menyebabkan kerugian finansial, karena masyarakat harus membayar layanan kesehatan ataupun kehilangan pendapatan akibat kesehatan yang terganggu. Selain itu, rendahnya kualitas sanitasi juga berdampak negatif terhadap pariwisata. “Survei di beberapa tujuan wisata Indonesia menunjukkan 15 persen wisatawan tidak ingin kembali ke Indonesia, dan 40 persen menyebutkan kondisi sanitasi yang buruk merupakan alasan utamanya. Hal ini sekali lagi mengingatkan kita ketersediaan air minum dan sanitasi yang baik sangat berpengaruh terhadap produktivitas ekonomi,” kata beliau.
SDGs telah mengamanatkan target akses air minum dan sanitasi yang layak yang lebih tinggi, yaitu akses yang aman. Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kondisi pengelolaan air limbah domestik. “Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah berhasil meningkatkan akses sanitasi layak sebesar 1,4 persen per tahun menjadi 74,58 persen di 2018. Indonesia juga berhasil menurunkan tingkat praktik BABS sebesar 1,2 persen per tahun menjadi 9,36 persen atau sekitar 25 juta penduduk di 2018. Hingga saat ini, hanya 23 kabupaten/kota yang 100 persen warganya tidak BABS, dan baru satu provinsi yang berhasil ditetapkan sebagai Provinsi ODF, yaitu Provinsi DI Yogyakarta. Untuk itu, kepemimpinan Pemerintah Daerah sangat dibutuhkan untuk mensupervisi upaya bersama lintas sektor, meningkatkan peran regulator dinas teknis, serta yang tidak kalah penting mengajak masyarakat luas agar sadar dan mau bekerja sama dalam mencapai target ini,” jelas Menteri Bambang.
Acara AHL diselenggarakan Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi (AKKOPSI) bekerja sama dengan Kementerian PPN/ Bappenas, UNICEF, dan World Bank yang bertujuan untuk mengadvokasi dan mengembangkan kapasitas pemangku kepentingan di bidang sanitasi khususnya Pemerintah Daerah. “AHL ini diharapkan dapat membangun momentum dan memperkuat komitmen bersama, sekaligus sebagai wadah untuk saling berbagi pengalaman antar daerah untuk mencapai target nasional maupun daerah masing-masing yang di dalamnya termasuk pengelolaan air limbah domestik yang aman,” jelas Ketua Umum AKKOPSI sekaligus Walikota Makassar Ramdhan Pomanto. AHL dibuka oleh Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah yang sekaligus menegaskan tekad untuk menjadi Provinsi ODF kedua di Indonesia. Di Sesi Pleno Horizontal Learning, Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X berbagi pengalaman sebagai Provinsi ODF, sementara di Sesi Diskusi Panel Bupati Pringsewu, Bupati Sumbawa Barat, dan Walikota Surakarta berbagi pengalaman sebagai Kabupaten ODF yang menjalankan pengelolaan sanitasi yang aman dalam skala kota.
Pada akhir sambutan, Menteri Bambang mengapresiasi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa dana-dana dari Badan Zakat Nasional (Baznas), Badan Wakaf Indonesia (BWI), serta dana sosial keagamaan lainnya dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan alternatif. “Untuk mengatasi masalah air minum dan sanitasi, Pemerintah Indonesia tidak dapat bekerja sendiri. Perlu kerja sama berbagai pihak dan pembelajaran antar sesama pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta. Saya kira inisiatif MUI, Baznas, dan BWI dalam mendayagunakan investasi dana Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf (ZISWAF) merupakan contoh konkret kerja sama antar pihak untuk mempercepat upaya pembangunan air minum dan sanitasi. Untuk mendapatkan manfaat yang lebih luas, upaya replikasi dan pemanfaatan investasi dana ZISWAF perlu diimplementasikan secara strategis di daerah-daerah lainnya,” jelas Menteri Bambang.
Pemanfaatan investasi dana ZISWAF secara lebih luas menggunakan mekanisme blended-finance dengan pendanaan dari bank lokal, juga merupakan salah satu opsi yang menarik untuk digali. Saat ini UNICEF telah berkolaborasi dengan BAZNAS dan MUI untuk mendukung pencapaian ODF di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Demikian pula kegiatan Urban Sanitation Development Program (USDP) di Provinsi Sumatera Selatan di bawah Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Pemerintah Daerah juga perlu mengoptimalkan penggunaan DAK dan Dana Desa agar diprioritaskan untuk air minum dan sanitasi. Alokasi DAK 2015-2019 cenderung meningkat dengan rata-rata kenaikan untuk bidang sanitasi 48,91 persen dan untuk air minum 34,83 persen. Saat ini, dukungan transfer dana tersebut baru berkontribusi terhadap kenaikan akses air minum 2,21 persen dan akses sanitasi 2,87 persen tiap tahunnya. Dengan sinergi yang lebih baik, diharapkan daya ungkit berbagai sumber pendanaan tersebut dapat menjadi lebih besar.
Percepatan perbaikan akses sanitasi memang membutuhkan investasi yang cukup besar dan sering kali keuntungan ekonomi yang didapat cenderung sulit untuk dinilai. Namun, berdasarkan perhitungan analisis manfaat biaya dengan mempertimbangkan manfaat tidak langsung dan jangka panjang didapatkan investasi terhadap sanitasi memberikan keuntungan yang cukup besar. “Berdasarkan studi WHO pada 2012, setiap USD 1 yang diinvestasikan pada sanitasi memberikan manfaat balik sebesar USD 5,5 dan untuk investasi pada air minum akan memberikan manfaat balik sebesar USD 2. Hal ini menunjukkan investasi pembangunan air minum dan sanitasi memberikan keuntungan yang besar, khususnya dampak jangka panjang dan keberlanjutan kehidupan yang lebih baik. Dengan berinvestasi di air minum dan sanitasi, kita juga sekaligus meningkatkan cakupan dan kualitas layanan, inovasi teknologi, pengembangan dan pengumpulan tarif layanan, maupun kegiatan promosi dan advokasi secara masif,” pungkas Menteri Bambang.