KPBU Turunkan Resiko Ketidakpastian Hukum dan Tingkatkan Elektabilitas
Berita Utama - Kamis, 14 September 2017
JAKARTA – Pembiayaan infrastruktur dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) menjadi pilihan terbaik karena mampu menurunkan terjadinya resiko pelanggaran hukum serta meningkatkan elektabilitas bagi kandidat walikota pada pemilihan kepala daerah. Hal ini dikemukakan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro saat menjadi pembicara kunci pada Rapat Kerja Teknis Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) di ICE BSD – Tangsel, pada Kamis (14/9).
“Indikasi adanya kekhawatiran pemerintah daerah dalam membelanjakan anggarannya pada sektor infrastruktur terlihat dari tingginya Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa). Kita lihat saja di tahun 2013 silpa kita adalah 45 triliun, lalu pada tahun 2014 lompat menjadi 125 triliun, dan turun di tahun 2015, namun masih di atas 100 triliun,” jelas Menteri Bambang.
Faktor utama tingginya silpa menurut Menteri Bambang disebabkan adanya kekhawatiran pemerintah daerah dalam melakukan lelang proyek infrastruktur. Mengutip modus perkara yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kurun waktu 2005-2016, kasus pengadaan barang/jasa mendominasi dengan angka 148 perkara.
“Saya bisa paham mengapa silpa tinggi karena adanya ketakutan para pemerintah daerah jika nantinya terjadi kasus pengadaan barang dan jasa,” tutur menteri Bambang. Ditambahkannya, presiden kemudian mengumpulkan semua gubernur, walikota dan Bupati bersama-sama dengan mahkamah agung dan kejaksaan untuk berdiskusi untuk menghasilkan kepastian hukum dari proyek infrastruktur utamanya pengadaan barang dan jasa, salah satunya dengan skema KPBU.
KPBU memiliki perlindungan hukum yang baik karena memiliki regulasi yang jelas. Birokrasinya terjaga melalui mekanisme KPBU yang melibatkan pemangku kepentingan, diantaranya Kementerian PPN/Bappenas dalam pemilihan proyek, Kementerian Keuangan dalam pemberian fasilitas fiskal, LKPP dalam proses pengadaan, BKPM dalam menjajaki minat dan nilai pasar, Kemendagri dalam pemberian rekomendasi AP (Available Payment) Daerah, Kemenko Perekonomian dalam debottlenecking, dan PT.PII dalam pemberian penjaminan Pemerintah.
“KPBU dapat mengatasi permasalahan dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas proyek dengan pelibatan badan usaha yang memungkinkan terjadinya pembagian risiko dan menjamin ketepatan waktu dan anggaran (on schedule – on budget). Kita buat sistem yang semuanya terdokumentasi dengan baik dan sesuai aturan,” ujar menteri Bambang.
Proses pembagian resiko dalam skema KPBU dan penjaminan dari pemerintah melalui PT PII memungkinkan sebuah proyek infrastruktur bisa tetap berlangsung meskipun terjadi perubahan pimpinan kepala daerah. Selain itu anggaran yang digunakan untuk membangun proyek dan operasional proyek tersebut sepenuhnya bisa didanai dan dikerjakan oleh badan usaha. Jika sebuah proyek diskemakan KPBU maka nilai proyek bisa menjadi dua kali lipatnya.
“Misalnya, saya contohkan jika anggaran pemerintah tersedia 100 miliar, maka pihak swasta paling tidak harus memiliki uang 103 miliar sehingga nilai proyek menjadi 200 miliar. Kalo misalkan dengan 100 miliar bapak ibu bisa bangun LRT (Light Rapid Transpid) sejauh 10 km, maka dengan KPBU bapak ibu bisa bangun 20 km dan mampu menjangkau sudut-sudut kota,” jelasnya. Terbangunnya transportasi publik di sebuah kota pada akhirnya akan meningkatkan keterpilihan (elektabilitas) seorang pimpinan daerah pada saat pemilihan kepala daerah.