ICCTF Berhasil Turunkan Emisi GRK 9,5 Juta Ton CO2 Ekuivalen atau 1 Persen Target 2020
Berita Pembangunan - Jumat, 06 April 2018
Untuk itu, saat ini pemerintah sangat gencar menurunkan emisi GRK, dan banyak lembaga donor yang berupaya mendanai isu perubahan iklim tersebut. Dari catatan BMKG, kenaikan temperatur rata-rata untuk kota-kota di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun bisa sampai 3-4 derajat Celsius. Hal ini disampaikan oleh Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam dalam Kunjungan dan Liputan Media ke Lokasi Program ICCTF di Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, pada tanggal 5 April 2018. “Implikasinya tidak main-main, dan harus kita antisipasi karena Indonesia adalah negara kepulauan. Besar sekali dampak isu perubahan iklim terhadap negara kepulauan, contohnya yang sering dialami di Kalimantan adalah kebakaran hutan. Itu merupakan tanda-tanda bahwa isu perubahan iklim sudah mulai masuk sampai ke level mikro,” kata beliau.
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCFT) merupakan satu-satunya lembaga dana perwalian untuk perubahan iklim yang dikelola oleh pemerintah Indonesia, dan pertama di dunia. ICCTF mendukung target komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional di tahun 2030. “Pada 2007, kita pernah menjadi tuan tumah COP-13 di Bali. Kita punya angan-angan akan cukup banyak pendanaan global yang akan masuk ke Indonesia. Negara yang punya potensi dan punya komitmen untuk menurunkan emisi akan di-support. Setelah keluar komitmen 26 persen, kami di Bappenas mencoba menggodok konsep innovative financing, dan muncul gagasan dana perwalian. ICCTF menjadi trust fund untuk perubahan iklim pertama di dunia yang muncul. Tujuan ICCTF adalah kita ingin pooling fund dari berbagai sumber untuk membantu pemerintah mengejar target penurunan emisi 29 persen hingga 2030,” kata beliau.
Dalam perjalanannya, ICCTF tidak bisa lagi membantu secara langsung K/L dan pemerintah daerah. Setelah menjadi satker Kementerian PPN/Bappenas, ICCTF hanya dapat membiayai langsung proponen-proponen yang ada di daerah. “Ketika di bawah manajemen UNDP, ICCTF dapat membantu langsung K/L, pemerintah daerah, LSM, dan perguruan tinggi. Setelah menjadi satker di Bappenas, ICCTF hanya bisa membiayai kegiatan-kegiatan yang proponennya adalah non-pemerintah. Tapi itu bukan menjadi suatu masalah bagi kita. Meskipun memiliki keterbatasan melakukan pembiayaan untuk K/L dan pemerintah daerah, ICCTF tetap bisa membiayai langsung proponen-proponen dalam rangka percontohan yang ada di daerah, salah satunya adalah Yayorin kita support,” jelas beliau.
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) yang dilakukan Yayorin, menurut beliau menjadi kunci. “Drivers terbesar dari kebakaran itu adalah pembukaan lahan, baik dari sektor pertanian maupun perkebunan. Tidak mudah membuka lahan tanpa bakar di Indonesia. Di kalangan petani, biasanya PLTB kurang favorit karena dinilai susah dan membutuhkan peralatan yang cukup banyak. Untuk itu, saya ingin belajar dengan teman-teman daerah khususnya Yayorin. Salah satu aspek yang dikerjakan Yayorin adalah mencoba mengatasi penyebab langsung dari kebakaran-kebakaran yang terjadi selama ini terutama di wilayah gambut. Gambut ini sering terbakar dan menjadi salah satu kontributor terbesar untuk emisi GRK di Indonesia. Berdasarkan laporan teman-teman ICCTF, PLTB di sini ada ada success story,” jelas beliau.
Menurut Direktur Eksekutif Sekretariat ICCTF Tonny Wagey, saat ini ICCTF memberikan kontribusi yang signifikan bagi penurunan emisi GRK. “Karena ini kegiatan mitigasi, kami berusaha mencoba melakukan estimasi rata-rata atau total penurunan emisi GRK. Kami baru saja melakukan perhitungan, Total kontribusi project ICCTF terhadap penurunan emisi GRK adalah sebesar 9,5 juta ton CO2 ekuivalen. Angka ini tidak main-main, kalau dihitung dari target 26 persen, kita menyumbang 1 persen dari keseluruhan target nasional di 2020. Saya rasa kontribusi ICCTF dalam penurunan emisi GRK cukup signifikan,” jelas beliau. Namun dalam hal ini, Tonny Wagey mengatakan ICCTF tidak menjadikan target emisi GRK yang menjadi utama, tetapi lebih memikirkan dampak program secara ekonomi dan sosial.
Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Medrilzam sepakat bahwa GRK bukanlah tujuan utama pemerintah. Beliau mendorong agar pembelajaran program ini dapat direplikasi dan dijadikan contoh bagi daerah lain yang melalukan progam serupa dalam upaya penurunan emisi GRK. “Penurunan emisi GRK itu jangan menjadi target utama. Penurunan emisi GRK itu sifatnya co-benefit, tetap target utamanya pembangunan, baik pertanian maupun perikanan. Ke depan kita tidak hanya bicara tentang penurunan emisi GRK, harus bersanding pertumbuhan ekonomi nasional maupun masyarakat lokal dan isu kemiskinan. Harapannya, percontohan ICCTF ini dapat direplikasi oleh pemerintah daerah, LSM, dan perguruan tinggi,” jelas beliau.