FMB 9 Pindah Ibu Kota Negara: Indonesia Belahar dari Pengalaman Brasil Pindahkan Ibu Kota Negara Ke Brasilia
Berita Utama - Rabu, 10 Juli 2019
JAKARTA – “Kita ingin ibu kota baru yang Indonesia-sentris, memicu pertumbuhan ekonomi, dan mendorong pemerataan pembangunan. Ibu kota baru harus didesain dan dipikirkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Bagaimanapun Jakarta didesain dan dibangun oleh Pemerintah kolonial, VOC, Hindia Belanda, dijadikan pusat pemerintahan, dan diteruskan menjadi ibu kota negara hingga saat ini. Kita ingin bangun dengan kemampuan sendiri. Ibu kota yang dibangun secara khusus dan memiliki tata kota dan urban planning yang sangat baik dan nyaman untuk penghuninya. Untuk itu, kita harus belajar dari negara yang sudah berhasil memindahkan ibu kota, salah satunya Brasil. Alasan Kalimantan, selain ketersediaan lahan luas, relatif bebas bencana, wilayahnya lebih Indonesia-sentris. Indonesia tengah itu ada di Selat Makasar, namun Sulawesi masih rentan gempa dan tsunami. Jadi pilihannya Kalimantan,” jelas Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema “Pindah Ibu Kota Negara: Belajar dari Pengalaman Negara Sahabat” di Ruang Rapat Benny S. Muljana, Gedung Widjojo Nitisastro, Kementerian PPN/Bappenas, Rabu (10/7).
Menteri Bambang mengatakan bahwa ide pemindahan ibu kota baru bukan hal yang baru sama sekali. Dalam 100 tahun, lebih dari 30 negara sukses memindahkan Ibu Kota. Sejarah mencatat, setiap 3-4 tahun terjadi pemindahan ibu kota, bahkan akhir-akhir ini berlangsung hampir setiap dua tahun sekali. “Selain Brasil, banyak negara memindahkan ibu kota. Malaysia yang pusat administrasinya ke Putrajaya. Korea Selatan dari Seoul ke Sejong. Kazakhstan dari Almaty ke Astana, juga Australia ke Canberra. Pakistan, Nigeria, bahkan Mesir juga pernah memindahkan ibu kota. Namun, Indonesia punya satu keunikan, satu-satunya negara kepulauan terbesar di dunia. Kita akan pindahkan ibu kota antara pulau, tidak seperti Malaysia yang pindah ke Kuala Lumpur atau Mesir ke Kairo. Ada satu alasan pemindahan ibu kota yang mungkin mirip dengan Brasil, meskipun Brasil kontinen. Ketika itu, ibu kota dipindahkan dari Rio de Janeiro sebagai pusat denyut ekonomi Brasil ke Brasilia. Sementara denyut ekonomi kita adalah Jakarta sekitarnya. Kaitannya dengan denyut ekonomi, Pulau Jawa akhirnya menjadi pulau yang sangat padat dengan ekonomi sangat tinggi sehingga menciptakan ketimpangan dengan pulau-pulau di luar Jawa. Kalau kita membiarkan ini berkelanjutan tanpa ada upaya penanganan serius, maka ketimpangan akan semakin parah,” jelas beliau.
Tahun 1960, Rio de Janeiro dipindahkan ke Brasilia dengan tujuan untuk memperbaharui kebanggaan nasional masyarakatnya dengan membangun ibu kota modern di abad 21, meningkatkan kesatuan nasional dengan membuka lahan kosong di tengah-tengah Brasilia, sekaligus mengurangi ketimpangan. “Ketika ekonomi bertumbuh di Rio De Janeiro dan Santos, wilayah pedalaman dan Amazon tertinggal dibandingkan wilayah pantai. Upaya pemindahan ibu kota ke wilayah Amazon bisa dibaca sebagai upaya pemerataan pembangunan. Brasilia tidak hanya pusat pemerintahan, tetapi menjadi pusat kegiatan ekonomi bagi wilayah sekitarnya. Meski wilayah Amazon masih kalah dibandingkan wilayah pantai, tapi ketimpangan bisa diatasi. Untuk itu, kita juga berupaya meratakan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan pendapatan dan ekonomi ini yang harus kita atasi. Paling tidak, kita dapat mengurangi ketimpangan tersebut,” jelas Menteri Bambang.
Tidak hanya pemerataan ekonomi, pemindahan ibu kota ke Brasilia juga bertujuan untuk meratakan sebaran penduduk Brasil. Sepuluh tahun awal pasca pemindahan ibu kota negara, pertumbuhan penduduk Brasilia mencapai 14,4 persen per tahun dibandingkan Rio de Janeiro yang hanya 4,2 persen per tahun. "Terkait pemindahan ibu kota Brasil ke Brasilia, ide awalnya adalah untuk menyebarkan populasi masyarakat Brasil agar menjadi lebih imbang. Sebagai ukuran sukses pemindahan ibu kota, saat ini, Brasilia memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Brasil. Brasilia juga berjasa bagi penyebaran agribisnis karena peran sentralnya sebagai kota di tengah-tengah negara Brasil," jelas Duta Besar Brasil untuk Indonesia Rubem Barbosa.
Tidak ada kerugian ekonomi yang dialami Rio de Janeiro akibat pemindahan ibu kota, sedangkan Brasilia mengalami dampak positif yang signifikan. "Sekarang Brasilia sudah luar bisa berkembang, dampaknya adalah perkembangan kota-kota satelit di sekitarnya. Ada sekitar dua puluh kota kecil yang tumbuh industrinya, pariwisatanya. Dua puluh kota kecil tersebut menjadi pusat industri baru, perdagangan, dan pariwisata," kata Duta Besar LBPP RI untuk Brasil 2010-2015 Sudaryomo Hartosudarmo. Dalam Dialog Nasional II: Pemindahan Ibu Kota Negara pada Rabu (26/6) lalu, Menteri Bambang menjelaskan efek pengganda ekonomi atas pemindahan ibu kota Brasil, utamanya output multiplier, tercatat sebesar 2,93. Artinya, setiap BRL 1 penambahan investasi akan menambah output sebesar BRL 2,93. Sementara, employment multiplier akibat pemindahan ibu kota ke Brasilia sebesar 1,7 terhadap pekerjaan swasta yang tercipta dari setiap penambahan pekerjaan di sektor publik.
Terkait isu lingkungan, Menteri Bambang menekankan pembangunan ibu kota baru justru mendorong reforestrasi di Kalimantan. “Pembangunan ibu kota baru tidak akan mengurangi luas hutan lindung. Pada saat membangun ibu kota kita harus melakukan reforestrasi, konsep kotanya juga kota hijau sehingga hutan akan terjaga. Kalau ada kemungkinan abuse oleh investor, kita sebagai regulator harus keras. Untuk membuat kota ini terbuka, kota ini inklusif siapa saja boleh tinggal. Di sinilah kita melihat bahwa barangkali kota ini bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi bagi Kalimantan,” jelas beliau.
Selain memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan, Menteri Bambang juga menjelaskan beberapa cara yang tengah dilakukan Pemerintah untuk membangun pusat pertumbuhan baru, meningkatkan pemerataan pembangunan, serta mengurangi ketimpangan. Pertama, industrialisasi di luar Jawa dalam bentuk hilirisasi hasil tambang dan perkebunan, baik Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Kedua, mengembangkan berbagai kawasan ekonomi, baik Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Industri, dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Ketiga, mengembangkan enam wilayah metropolitan di luar Jawa, antara lain Medan, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Manado, dan Denpasar.