Fintech: Instrumen Kolaboratif untuk Capai Pembangunan Inklusif, Berkelanjutan, dan Berkeadilan
Berita Utama - Jumat, 26 Mei 2017
JAKARTA (24/5) – Kementerian PPN/Bappenas bersama Pemerintah Australia melalui program Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) menyelenggarakan lokakarya Peran Teknologi Keuangan dalam Pembangunan, dengan tema “Fintech untuk Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan”, pada Rabu, 24 Mei 2017, di Gedung Utama Kementerian PPN/Bappenas. Lokakarya ini bertujuan untuk bersama-sama mencari solusi dalam menghadapi tantangan pengarusutamaan pembangunan inklusif melalui teknologi keuangan, dan membangun momentum pemanfaatan layanan keuangan digital dalam kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam kata sambutannya, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang P. S. Brodjonegoro mengatakan teknologi keuangan (financial technology) atau yang lebih populer disebut sebagai Fintech, diharapkan dapat menjadi jawaban dari tantangan sistem keuangan di Indonesia. “Kementerian PPN/Bappenas memandang Fintech sebagai salah satu elemen strategis untuk mewujudkan keuangan inklusif, dan sekaligus dapat menciptakan pembangunan berkeadilan bagi masyarakat miskin dan yang rentan tidak mampu mengakses layanan jasa keuangan formal. Pada 2016, Asosiasi Fintech Indonesia mendata setidaknya terdapat 140 pemain Fintech di Indonesia. Diharapkan dengan semakin meningkatnya literasi keuangan masyarakat Indonesia, maka investasi jangka panjang dan penempatan modal pada berbagai sektor-sektor produktif juga dapat ditingkatkan,” jelas Menteri Bambang.
Lebih lanjut, Menteri Bambang menjelaskan tiga prioritas pembangunan yang dapat digerakkan oleh pemanfaatan Fintech. Pertama, mobilisasi modal untuk meningkatkan aktivitas ekonomi kelompok yang kurang terlayani, seperti Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Kedua, mobilisasi uang yang ada di masyarakat untuk membiayai infrastruktur dasar, seperti sanitasi dan listrik. Ketiga, mobilisasi dana untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, seperti energi bersih, dan/atau membiayai inovasi yang penting dalam rangka peningkatan produksi pertanian dan perikanan. “Dari hasil simulasi Kementerian PPN/Bappenas, kebutuhan pembiayaan investasi untuk pembangunan infrastruktur pada 2018 sekitar Rp 5.248 Triliun, namun dengan keterbatasan kapasitas fiskal maka 62 persen sumber pembiayaan harus berasal dari masyarakat. Kami melihat Fintech memiliki kapabilitas untuk mengisi potensi pasar yang cukup besar tersebut, sehingga pada akhirnya Fintech juga dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga miskin melalui pembiayaan usaha, akses terhadap air bersih dan listrik, dan pengelolaan keuangan untuk pendidikan dan kesehatan,” jelas beliau.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, keuangan inklusif merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik. Sasarannya adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan formal dalam kerangka pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Sejalan dengan sasaran RPJMN tersebut, berdasarkan Survei Deloitte Consulting dan Asosiasi Fintech Indonesia pada 2016, terdapat tiga hal yang dapat mendorong penerapan Fintech di Indonesia, yakni regulasi yang lebih jelas, kolaborasi, dan utamanya literasi keuangan.
Dari hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2016 menunjukkan bahwa Indeks Literasi Keuangan sebesar 29,66 persen dan Indeks Inklusi Keuangan sebesar 67,82 persen. Merespons hal tersebut, pemerintah akan terus mendorong dan melaksanakan program literasi dan inklusi keuangan agar target Indeks Inklusi Keuangan yang dicanangkan pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusi (SNKI) sebesar 75 persen, dapat dicapai pada 2019.
Namun, data dari OJK menunjukkan baru sekitar 67 persen orang dewasa di Indonesia pada 2016 yang mendapatkan akses di lembaga keuangan formal; Bank Dunia menerangkan sekitar 49 juta unit UKM belum bankable; sementara data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pangsa kredit baru mencapai 35,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk itu, kebijakan yang adaptif terhadap teknologi serta kemitraan dengan pihak swasta dan layanan jasa keuangan, sangat diperlukan agar dapat berkontribusi positif terhadap pencapaian sasaran RPJMN 2015-2019.
Pemerintah Australia sangat mendukung kebijakan dan program Pemerintah Indonesia ini untuk meningkatkan Indeks Literasi Keuangan dan Indeks Inklusi Keuangan. “Pemerintah Australia melalui program KOMPAK memiliki kegiatan penguatan kapasitas masyarakat dan UKM dalam mengakses pasar dan jasa keuangan,” jelas Astrid Kartika, Unit Manager for Basic Services – Human Development Section, Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia. Menurutnya, diseminasi informasi kepada kelompok khusus, terutama masyarakat pedesaan dan kelompok difabel, adalah kunci memperluas akses dan literasi keuangan di Indonesia.
Dalam laporan McKinsey Global Institute yang berjudul “Digital Finance for All: Powering Inclusive Growth in Emerging Economies”, layanan keuangan digital dapat memberikan akses kepada 1,6 miliar orang yang tidak memiliki rekening bank untuk masuk ke sektor usaha formal. Sebanyak 95 juta lapangan kerja baru dapat diciptakan, dan PDB negara-negara berkembang meningkat sebesar $3,7 Triliun. “Pemanfaatan Fintech terbukti mampu membuka akses yang lebih besar terhadap layanan jasa keuangan formal, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta pembangunan inklusif dan berkelanjutan. Tantangannya bagi Indonesia adalah menjadikan proses pembangunan dan pelayanan publik adaptif terhadap perkembangan Fintech. Hal ini yang akan coba kita dorong dalam proses perencanaan pembangunan,” ungkap Direktur Jasa Keuangan dan BUMN Kementerian PPN/Bappenas Muhammad Cholifihani.
Lokakarya ini diharapkan dapat menyusun rekomendasi bagi pemerintah pusat dan daerah dalam merencanakan dan melaksanakan program keuangan inklusif melalui Fintech, terutama pada pelayanan publik. Lokakarya ini melibatkan sektor swasta yang berhasil menerapkan Fintech dalam pelayanan maupun usahanya. Hadir CEO Gojek Nadiem Makarim, Vice President PT Amartha Mikro Fintek Aria Widyanto, CEO Kitabisa M. Alfatih Timur, dan Executive Director WeCare.id Gigih Rezki Septianto, yang di dalam lokakarya ini sekaligus bertindak sebagai narasumber dalam sesi Diskusi Panel: Inisiatif dan Kolaborasi dengan Sektor Swasta. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi Rembuk Ide dan Kolaborasi, yang dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) Fintech dan Kesehatan; (2) Fintech, Pendidikan, dan Infrastruktur Dasar; dan (3) Fintech, Tenaga Kerja, dan Kewirausahaan, membahas potensi kolaborasi swasta dengan pemerintah di berbagai sektor serta pembelajaran penggunaan Fintech dalam pelayanan publik.