Di New York, Menteri Bambang Berbagi Strategi Indonesia dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Sekaligus Mengentaskan Kemiskinan
Berita Utama - Selasa, 16 Juli 2019
NEW YORK – “Pemerintah Indonesia telah berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi satu digit, dari 15,4 persen populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan pada 2008, menjadi 9,66 persen pada September 2018. Indeks Jurang Kemiskinan (Poverty Gap Index) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index) Indonesia juga menurun diikuti dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang menurun dari 8,39 persen pada Agustus 2008 menjadi 5,34 persen pada Agustus 2018. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini lebih sedikit masyarakat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan dibandingkan satu dekade yang lalu,” tutur Menteri PPN/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam sambutan kuncinya pada The United Nations' High-Level Political Forum (HLPF) Side Event: “Growth from Below for Poverty Eradication: How to Maximize the Impact of Growth on Poverty Reduction”, di Japan Society, New York, Senin (15/7).
Menurut Menteri Bambang, inti dari masalah kemiskinan saat ini adalah kerentanan kronis yang sekaligus menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Banyak masyarakat miskin yang hidup dengan akses yang terbatas ke layanan dasar. Selain itu, banyak juga dari mereka merupakan lansia yang sekaligus menjadi kepala rumah tangga dengan standar hidup yang minimum, di antaranya seperti fasilitas perumahan yang buruk, resistensi rendah terhadap guncangan ekonomi, dan ketidakmampuan untuk mengakses layanan keuangan karena rendahnya literasi keuangan. Apabila kondisi-kondisi ini dibiarkan tanpa diberikan intervensi kebijakan yang tepat, maka dapat mengakibatkan mereka terjebak dalam siklus kemiskinan antar generasi.
“Kita tahu bahwa pertumbuhan ekonomi adalah instrumen yang paling kuat untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat juga dapat berdampak negatif bagi mereka yang tidak dapat mengambil manfaat dari pertumbuhan tersebut. Karenanya, kita perlu mencari kebijakan dan intervensi baru. Pertumbuhan inklusif berarti memastikan pertumbuhan yang tinggi, berkelanjutan, dan adil dengan memperluas akses ke pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas bagi masyarakat miskin, meningkatkan infrastruktur layanan dasar, memperdalam inklusi keuangan untuk menjangkau masyarakat miskin dan rentan, menciptakan lebih banyak peluang kerja, serta meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan. Pendekatan mata pencaharian menjadi kebijakan pelengkap, yaitu dengan beralih dari pendekatan 'jaring pengaman' ke 'batu loncatan' dengan membantu masyarakat miskin membangun aset produktif, mengembangkan kewirausahaan, dan mengurangi ketergantungan terhadap bantuan sosial,” jelas Menteri Bambang.
Pemerintah Indonesia juga telah mengembangkan Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif (IPEI) yang berlandaskan tiga pilar utama, yaitu pilar pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, pilar pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan, serta pilar perluasan akses dan kesempatan. Di 2017, Indonesia telah mencapai angka 5,47 dari 10. Pemerintah Indonesia fokus untuk meningkatkan program perlindungan sosial, memperkuat layanan dasar, dan menciptakan mata pencaharian. Melalui strategi ini, Indonesia bertekad meningkatkan aset multidimensi masyarakat miskin, termasuk modal manusia, kohesi sosial, aset keuangan, dan infrastruktur dasar, agar mereka dapat hidup secara berkelanjutan di atas garis kemiskinan. “Indonesia harus meningkatkan taraf hidup dan meningkatkan mata pencaharian yang lebih baik terutama bagi kelompok ekonomi terendah, memperkuat kelompok berpenghasilan menengah, serta memanfaatkan teknologi untuk mempercepat proses pembangunan inklusif. Saya percaya, kemitraan adalah salah satu kunci untuk mewujudkan pembangunan inklusif,” pungkas Menteri Bambang.