Bappenas-UNICEF-Puskapa UI Tekankan Pentingnya Keadilan Restoratif dalam Implementasi UU SPPA
Siaran Pers - Rabu, 04 November 2020
JAKARTA – Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan UNICEF dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia meluncurkan Studi “Kesempatan Kedua dalam Hidup” yang bertujuan untuk memperbaiki prosedur, mekanisme, serta kualitas pendampingan dan rehabilitasi sosial bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Studi yang menelaah implementasi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Indonesia ini dilakukan pada Maret-April 2019 di Tangerang, Palembang, Surabaya, dan Kendari yang dipilih karena merupakan daerah dengan jumlah kasus Anak Berurusan dengan Hukum (ABH) tertinggi serta mempertimbangkan keterwakilan geografis Indonesia. Dalam pengumpulan data, peneliti menganalisis 651 putusan dari empat pengadilan tingkat pertama di keempat kota tersebut, mewawancarai 129 informan kunci, dan melaksanakan 4 diskusi kelompok terarah.
“Secara umum, hasil kajian di empat wilayah studi menunjukkan ada tren penurunan jumlah ABH pada 2018 dibandingkan 2014. Namun, kajian menunjukkan mayoritas atau 54 persen anak masih ditempatkan di lembaga pemasyarakatan dewasa. Studi ini memberikan informasi bahwa penahanan dan pemenjaraan masih dipilih oleh aparat penegak hukum demi alasan keamanan atau memudahkan mobilisasi anak untuk proses persidangan. Beberapa temuan mengenai pemahaman yang beragam dari aparat hukum tentang syarat diversi, penyediaan infrastruktur yang belum memadai sehingga minim penerapan alternatif hukuman non pemenjaraan yang fokus terhadap pemulihan anak adalah beberapa kendala yang dihadapi. Padahal, menurut UU SPPA, penahanan atau pidana penjara bagi anak seharusnya merupakan pilihan terakhir. Kalaupun anak mesti ditahan, maka penempatannya harus terpisah dari tahanan dewasa, yakni di Lembaga Penempatan Anak Sementara,” ungkap Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Kementerian PPN/Bappenas Slamet Soedarsono.
UU SPPA yang mulai berlaku 2014 merupakan upaya pemerintah untuk menghadirkan pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara ABH. “Pendekatan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud dalam undang-undang SPPA ini berupaya mengedepankan penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan pada keadaan semula. Berkenaan dengan dukungan ke arah kebijakan pendekatan keadilan restoratif secara optimal, diperlukan upaya penataan regulasi dan aturan pelaksana. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat penegak hukum, penguatan sarana dan prasarana dan upaya peningkatan kesadaran kesadaran hukum masyarakat agar seluruh pemangku kepentingan berkolaborasi dan bersinergi dengan baik ke depan,” tegas Deputi Slamet.
Studi juga menyimpulkan bahwa pemberlakuan diversi masih terkendala karena aparat penegak hukum tidak menggunakan pedoman dan standar pelaksanaan yang jelas hingga belum memiliki pemahaman yang seragam mengenai manfaat dan prosedur penerapan diversi dalam kasus anak. Di luar persoalan diversi, proses pendampingan dan rehabilitasi sosial bagi anak juga belum berjalan maksimal. Pendampingan hukum dan nonhukum serta program rehabilitasi sosial dan reintegrasi untuk anak relatif masih belum optimal dan sulit dilaksanakan karena kurangnya dukungan anggaran, sarana, dan sumber daya manusia. Kendala serupa juga ditemui ketika anak ditempatkan di penjara atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Keterbatasan pada layanan pendidikan serta perawatan kesehatan di dalam LPKA membatasi hak anak yang seharusnya didapatkan. “Setiap orang mungkin pernah melakukan kesalahan. Jati diri seorang anak tidak seharusnya ditentukan oleh pelanggaran pidana yang dilakukan. Karena setiap anak, seperti semua orang lainnya, layak mendapat kesempatan kedua,” ujar Deputy Representative UNICEF Indonesia Robert Gass.
Studi “Kesempatan Kedua dalam Hidup” merekomendasikan beberapa hal yakni meningkatkan kualitas diversi dalam mencegah anak menjalani proses peradilan, meningkatkan ketersediaan dan kualitas pendampingan hukum dan nonhukum bagi ABH, mencegah anak dari pembatasan kemerdekaan, melindungi anak dengan layanan rehabilitasi dan reintegrasi berkualitas, dan memastikan akuntabilitas SPPA melalui sistem pemantauan dan evaluasi. “Isu anak yang berhadapan dengan hukum adalah titik masuk strategis untuk semua pemangku kepentingan dalam sistem peradilan dengan meninjau kembali regulasi, sistem, dan prosedur yang selama ini ada, serta melakukan berbagai terobosan yang berdampak jangka panjang,” tutur Direktur Puskapa UI Santi Kusumaningrum.
Perumusan kebijakan perlu dilaksanakan secara holistik dan integratif sehingga perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi ABH dilaksanakan secara optimal. Di samping itu, pemenuhan hak-hak ABH dalam sistem peradilan perlu menjadi fokus sehingga hak anak selalu terlindung mengingat masa depan yang panjang dan perlu kita jaga kualitasnya bersama-sama. “Posisi berhadapan dengan hukum tentu memberikan dampak besar pada perkembangan dan pengalaman hidup seorang anak. Pengaruh pada kesehatan fisik dan mental, kesejahteraan sosial, kesempatan hidup yang lebih baik, serta risiko kekerasan, dan diskriminasi pada ABH berpotensi besar terjadi. Untuk itu penerapan UU SPPA ke depan menjadi landasan kita bersama untuk menjaga masa depan ABH yang lebih baik dan meminimalisasi dampak yang ditimbulkan,” tandas Deputi Slamet.