NARASI TUNGGAL: Pekerja Informal Kini Bisa Bangun Rumah Swadaya Melalui Pembiayaan Mikro Perumahan
Berita Pembangunan - Rabu, 23 Agustus 2017
Melalui pembiayaan mikro perumahan (PMP), perbankan diharapkan mau menyalurkan kredit agar kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) termasuk para pekerja informal dapat terpenuhi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Februari 2017 lalu, jumlah pekerja informal di Indonesia masih cukup besar yakni 72,67 juta orang, atau 58,35 persen dari total pekerja. “Melalui pembiayaan mikro perumahan ini nilai pinjaman yang diberikan cukup rendah dengan jangka waktu yang cukup pendek agar risiko kredit yang dihadapi lembaga jasa keuangan menjadi lebih kecil,” kata Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Lana Winayanti pada Seminar Nasional dengan tema Rumah Layak dan Terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Tidak Tetap di Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Rabu (23/8).
Ia menambahkan, bahwa skema PMP ini bersifat bertahap (incremental) dan berulang (revolving), yaitu kredit diberikan secara berulang dengan tempo maksimal 5 tahun dan besaran maksimal Rp.50.000.000,-, sehingga debitur dapat memenuhi kebutuhan rumahnya secara bertahap (incremental housing), sekaligus membangun kelayakan kreditnya terhadap lembaga jasa keuangan.
Skema PMP merupakan skema pembiayaan dengan pendekatan rumah inti tumbuh (RIT). Dengan konsep RIT, tempat kediaman awal untuk memulai bertempat tinggal adalah dengan standar minimal yang layak dihuni dan kemudian rumah tersebut dapat dikembangkan secara bertahap menjadi lebih luas.
“Pemanfaatan pembiayaan mikro perumahan juga bisa fleksibel, dapat dimanfaatkan misalnya dipinjaman pertama mulai dari pembelian kavling tanah, bangun pagar, bangun pondasi, bangun konstruksi bangunan. Kemudian jika pinjaman sudah lunas, bisa memanfaatkan pinjaman mikro kembali untuk perluasan rumah, perbaikan rumah, sampai akhirnya rumah jadi dan siap huni,” ujar Lana.
Dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 26/PRT/M/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri PUPR Nomor 21/PRT/M/2016 tentang Kemudahan dan/atau Bantuan Perolehan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah, fasilitas pembiayaan sebenarnya sudah mencakup pekerja informal. Namun penghasilan kelompok masyarakat tersebut yang tidak tetap merupakan risiko bagi perbankan untuk memberikan pinjaman besar dengan jangka waktu panjang.
Hambatan bagi pekerja informal untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan perumahan dari perbankan umumnya adalah karena alasan jadwal penghasilan yang tidak sesuai dengan jadwal cicilan, tidak adanya rekam jejak kredit, tidak ada legalitas usaha, atau minimnya nilai aset yang dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman bisa diatasi. Tenor dan agunan KPR FLPP yang lebih singkat dan bertahap juga diharapkan lebih sesuai dengan karakteristik mereka yang berpenghasilan tidak tetap.
Skema PMP ini sesuai dengan karakter masyarakat berpenghasilan tidak tetap. Dengan nilai pinjaman yang diberikan cukup rendah dengan jangka waktu yang cukup pendek, risiko kredit yang dihadapi lembaga jasa keuangan menjadi lebih kecil.
Sebagai pilot project, tahun ini PMP akan diberikan kepada komunitas masyarakat berpenghasilan tidak tetap di 16 provinsi yang memperoleh dana dekonsentrasi Sub-Bidang Pembiayaan Perumahan Tahun 2017. Penerapan skema PMP sendiri menyusul ditandatanganinya nota kesepahaman antara Kementerian PUPR dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), PT Pegadaian, dan Yayasan Habitat Kemanusiaan Indonesia (YHKI) di Semarang, Rabu (23/8). Melalui BRI, PMP akan diberikan sebanyak 3.000 unit, dan melalui BKE akan diberikan sebanyak 500 unit.
Pengembangan skema pembiayaan perumahan yang dapat diakses masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya yang bekerja di sektor informal, diharapkan dapat mendorong realisasi program Satu Juta Rumah yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo tahun 2015 lalu.