NARASI TUNGGAL: Lele Bioflok, Solusi Penuhi Kebutuhan Gizi Masyarakat

Inovasi yang dikembangkan ini dapat menggenjot produktivitas budidaya hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan budidaya sistem konvensional.

Sebagai perbandingan, budidaya dengan sistem konvensional dengan padat tebar 100 ekor/m3 memerlukan 90-110 hari untuk panen, sedangkan untuk sistem bioflok dengan padat tebar 500-1000 ekor/m3 hanya membutuhkan 75-90 hari saja. Di samping itu, penggunaan pakan lebih efisien. Jika pada teknologi konvensional nilai Feed Convertion Ratio (FCR) rata-rata 1,5, dengan teknologi bioflok FCR dapat mencapai 0,8 – 1,0. Artinya untuk menghasilkan 1 kg daging ikan pada teknologi konvensional membutuhkan rata – rata 1,5 kg pakan, sedangkan dengan teknologi bioflok hanya membutuhkan 0,8 – 1,0 kg pakan.

Di banyak daerah teknologi bioflok terbukti sangat efisien. Sebagai ilustrasi dengan rata-rata padat tebar 1.000 ekor/m3, maka dalam satu kolam bulat ukuran diameter 3 m, dapat ditebar benih lele sebanyak minimal 3.000 ekor, dan mampu  menghasilkan  lele konsumsi mencapai 300 – 500 kg per siklus (75-90 hari). Artinya jika dibanding dengan teknologi konvensional, budidaya sistem bioflok ini mampu menaikan produktivitas > 3 kali lipat. 

Begitupun secara perhitungan bisnis, usaha ini juga sangat profitable. Sebagai gambaran dalam 1 (satu) unit usaha, yaitu 12 lubang kolam diameter 3 m dengan kepadatan 3.000 ekor benih/kolam, akan menghasilkan produksi sebanyak 4,3 ton per siklus. Dengan kata lain, pembudidaya dapat meraup keuntungan sekitar 21,6 juta per siklus atau sekitar Rp7,2  juta per bulan. Salah satu kelebihan lain, pengembangan lele bioflok juga dapat diintegrasikan dengan sistem hidroponik, di mana secara teknis air buangan limbah budidaya yang mengandung mikroba dapat dimanfaatkan sebagai pupuk yang baik bagi sayuran.

 

Kenalkan Lele Bioflok ke Lingkungan Pondok Pesantren

KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) menggandeng lingkungan pondok pesantren sebagai sasaran pengembangan teknologi bioflok, melalui program “Bioflok Masuk Pesantren”. Pesantren dipilih sebagai lokasi pengembangan teknologi bioflok karena dinilai sebagai lingkungan yang efektif untuk pengembangan usaha budidaya.

Pesantren memiliki lahan yang cukup luas, kelembagaan koperasi, sistem manajemen yang rapi dan teratur, serta Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hal ini jumlah santri yang memadai. Bahkan satu pesantren dapat memiliki hingga 10.000 santri yang handal dan disiplin sebagai kunci keberhasilan usaha budidaya lele yang membutuhkan ketelatenan dan ketelitian. Pesantren juga dapat menjadi contoh yang efektif karena menjadi panutan masyarakat. Namun demikian, tingkat konsumsi ikan santri masih rendah. Pengenalan usaha lele bioflok di lingkungan pesantren ini, diharapkan akan mampu mewujudkan pemberdayaan umat, sebagaimana pesan yang disampaikan Presiden Joko Widodo.

Tahun ini KKP akan mengalokasikan dukungan sebanyak 103 paket, dengan rincian 71 paket dari pusat dan 32 paket dari Unit Pelaksana Teknis (UPT), yang akan diberikan terhadap 73 pondok pesantren, 12 kelompok pembudidaya ikan, dan 3 lembaga pendidikan, yang tersebar di 15 Provinsi, termasuk diantaranya wilayah perbatasan yaitu Provinsi NTT (Kabupaten Belu), Provinsi Papua (Kabupaten Sarmi dan Wamena), Provinsi Kalimantan Utara (Kabupaten Nunukan). Total dukungan tersebut masing-masing terdiri dari 12 kolam dengan diameter 3 m, benih lele, pakan dan obat ikan, probiotik (larutan bakteri), dan sarana operasional.

Dukungan pada pondok pesantren ini diharapkan dapat memberdayakan setidaknya sekitar 78.500 orang santri. Ada 2 (dua) hasil (outcome) yang diharapkan dapat dicapai dengan mendorong program ini, yaitu: Pertama, terwujudnya pergerakan ekonomi di pondok pesantren dan yayasan, dengan memberdayakan koperasi pesantren. Dukungan ini diharapkan akan mampu menghasilkan produksi ikan Lele konsumsi sebanyak 440,325 ton per siklus atau 1.321 ton per tahun, dengan nilai ekonomi produksi sebesar Rp21,14 miliar per tahun, dengan angka tenaga kerja yang dapat terlibat mencapai 1.030 orang.

Kedua, meningkatnya konsumsi ikan per kapita di kalangan masyarakat pondok pesantren. Sebagaimana diketahui, tingkat konsumsi ikan dikalangan para santri masih rendah yaitu hanya sekitar 9,6 kg per kapita/tahun. Dengan adanya program ini diharapkan akan mampu mendorong tingkat konsumsi ikan di kalangan santri sampai 15 kg per kapita/tahun, sehingga secara langsung akan meningkatkan perbaikan gizi. Paling tidak dukungan awal ini akan memicu frekuensi konsumsi ikan di pondok pesantren yang semula kurang dari 1 kali dalam seminggu, menjadi paling tidak 2 kali dalam seminggu.

KKP menggandeng stakeholder terkait seperti Perguruan Tinggi dan LSM untuk turut serta melakukan pembinaan dan pendampingan teknologi, sehingga usaha akan berkesinambungan. KKP juga menggandeng organisasi keagamaan dalam hal ini PP Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk bekerjasama dalam program pengembangan lele bioflok ini.

Sementara itu, secara nasional target ikan lele untuk tahun 2017 diproyeksikan sebesar 1,39 juta ton, dimana realisasi hingga triwulan 1 mencapai 225 ribu ton. Melalui kegiatan pengembangan teknologi bioflok ini, maka diharapkan mampu menyumbang pencapaian sasaran produksi lele nasional.