Modal Sosial Percepat Proses Pembangunan Nasional
Berita Pembangunan - Selasa, 10 November 2020
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Vivi Yulaswati mengatakan, modal sosial penting untuk bertahan di tengah pandemi. “Dalam 8-9 bulan terakhir, modal sosial di masyarakat bisa menyebabkan kita relatif lebih bertahan. Bahkan di beberapa komunitas bisa mengendalikan virus relatif lebih baik,” ujar Vivi dalam Webinar Cetak Biru Pahlawan Baru: Dialog Nasional tentang Nilai-Nilai Bangsa untuk Bangkit dan Maju, Selasa (10/11).
Indonesia masuk ke dalam Top 10 World Giving Index 2019, artinya modal sosial yang sudah tumbuh di masyarakat adalah modal yang harus terus dikembangkan dan diterapkan. “Sejatinya setiap manusia itu ingin mengaktualisasi diri. Manusia itu bisa melalui beberapa level penyadaran mengembangkan nilai-nilai yang pada akhirnya berkembang menjadi suatu perilaku dan membentuk suatu budaya,” ujarnya mengutip metodologi Maslow yang diadaptasi Richard Barrett.
Vivi pun menjelaskan hasil survei dari 31 ribu responden berdasarkan analisis tersebut, yaitu nilai-nilai pribadi yang mungkin dapat menjadi nilai budaya Indonesia adalah bertanggung jawab, berkeadilan, dan berintegritas. Sedangkan nilai-nilai yang masih dapat dirasakan oleh masyarakat adalah kegotongroyongan, demokrasi, dan hak asasi manusia. “Nilai-nilai inilah yang diharapkan bisa menjadi modal dan perekat, dan dirasakan manfaatnya juga sebagai pelumas untuk mempercepat proses pembangunan tentunya dengan penyelesaian berbagai problem yang ada,” urai Vivi.
Entropi atau energi yang tidak menambah nilai juga muncul dari analisis tersebut. Seperti birokrasi yang berbelit, korupsi, diskriminasi, dan berpikir pendek. “Ini dianggap menghambat proses pembangunan yang ada dan bisa jadi kalau tidak segera dibereskan bisa menyebabkan low engagement dari masyarakat. Jadi konflik, friksi, frustasi dan tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari bisa menghambat suatu negara mencapai kinerja terbaiknya. Saat ini di Indonesia masih 43 persen, jadi kita masih punya banyak room for improvement,” imbuhnya.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Subandi Sardjoko menambahkan, Kementerian PPN/Bappenas menggunakan indeks pembangunan kebudayaan untuk mengukur cohesiveness, yaitu seberapa jauh ketahanan budaya Indonesia. Indeks tersebut memakai tujuh dimensi sebagai alat ukurnya, yaitu pendidikan, ketahanan sosial budaya, warisan budaya, ekspresi budaya, budaya literasi, gender, dan ekonomi budaya. Hasilnya adalah dimensi ketahanan sosial budaya memiliki nilai tertinggi sebesar 72,84 persen dengan hasil yang berbeda di tiap daerah. “Kita juga menggunakan profil ketahanan sosial budaya ini untuk pengambilan kebijakan kita. Karena pemerintah harus hadir untuk setiap individu tanpa terkecuali,” tutur Deputi Subandi.