Meningkatnya Kekerasan Pada Perempuan Di Masa Pandemi
Berita Pembangunan - Senin, 29 Juni 2020
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi Sardjoko menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi dan kesehatan saja, tetapi juga berdampak pada kondisi sosial dan psikososial. Subandi menyoroti meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi dalam Webinar Dari Perempuan untuk Indonesia, Senin (29/6). Lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia seperti Perancis, Inggris, Brazil dan beberapa negara lainnya.
Menurut survei Badan Pusat Statistik, kelompok berpendapatan rendah adalah kelompok yang paling terdampak Covid-19. “Penurunan pendapatan di masa PSBB justru terjadi pada 71 responden dari kelompok berpendapatan rendah ini. Tekanan psikis akibat menurunnya pendapatan, kemudian kehilangan pekerjaan, bertambahnya beban domestik, relasi kuasa yang tidak seimbang, serta ketidakmampuan mengelola emosi, membuat orang menjadi stres, menjadi cemas dan mudah marah sehingga sering kali berujung pada kekerasan,” urainya.
Kebijakan PSBB selama pandemi yang membuat sebagian besar orang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah juga menyebabkan mereka lebih aktif merokok. Perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan, tidak hanya berisiko mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tetapi juga berisiko mengalami masalah kesehatan akibat paparan asap rokok. “Kalau kita lihat dari data riset kesehatan dasar pada 2018, sekitar 35 persen perempuan yang setiap hari berada di ruangan tertutup bersama si perokok. Dengan kebijakan stay at home, proporsi ini mungkin mengalami peningkatan. Di kondisi normal aja 35 persen, ini menurut survei di 2018,” jelas Subandi.
Terkait dengan kasus kekerasan pada perempuan selama pandemi, Komnas Perempuan dan Anak mencatat korban kekerasan enggan melaporkan kejadian kekerasan yang dialami karena beranggapan bahwa KDRT adalah aib keluarga. Selain itu, kebijakan PSBB juga menjadi kendala bagi korban untuk mengadukan kasus kekerasan dan mendapat perlindungan, terlebih bagi korban yang tidak melek teknologi informasi. Sedangkan dari sisi layanan, penanganan kasus dan proses pendampingan juga sempat terhambat karena pembatasan dan perubahan layanan dari tatap muka menjadi daring. Selain itu, tidak semua orang memiliki akses untuk berkomunikasi secara daring. “Untuk mengatasi berbagai persoalan dan tantangan tersebut, kita bersama-sama dengan pihak terkait terus melakukan pendalaman isu dan perbaikan kebijakan ke depan terutama untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pelayanan terhadap korban kekerasan yang sesuai dengan protokol kesehatan,” pungkasnya.