Kebutuhan Pendanaan untuk Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Sebesar USD 10 miliar

Keanekaragaman hayati merupakan salah satu sektor penting untuk mendukung pembangunan 2021 sehingga pendanaan sektor ini perlu diperhatikan, terlebih untuk recovery kondisi sosial dan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Deputi Bidang Kemaritiman dan SDA Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto mengatakan pembangunan 2021 memiliki beberapa prioritas, di antaranya reformasi sistem kesehatan, ketahanan pangan, dan perlindungan sosial. Arifin mengatakan, ketiga hal ini sangat bergantung kepada keanekaragaman hayati dan prioritas ini akan terjaga jika keanekaragaman hayati terawat. “Biodiversity menjadi sumber utama bahan pembuatan obat dan menjaga ketahanan pangan. Keanekaragaman ini menjadi payung untuk pembangunan,” imbuhnya, Selasa (19/5).

Pengelolaan keanekaragaman hayati ini masuk dalam prioritas Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dan telah diimplementasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, juga dielaborasi dalam tujuh agenda pembangunan, yakni prioritas nasional terkait lingkungan hidup, ketahanan bencana, dan transformasi iklim. Arifin menyebutkan, prioritas ini memiliki tiga program, yaitu pengelolaan kerusakan dan pemulihan SDA serta penegakan hukum bagi pelanggar yang merusak SDA, perlindungan terhadap ketahanan perubahan iklim, dan pemulihan lahan gambut dan rehabilitasi lahan hutan.

Kebutuhan pengelolaan keanekaragaman hayati tercatat cukup besar, utamanya peningkatan luas kawasan konservasi. “Saat ini, luas habitat yang dimiliki spesies kunci semakin berkurang, kita harus mampu mengantisipasi hal tersebut,” ucap Arifin. Kebutuhan ini memakan total 23 persen anggaran pengelolaan keanekaragaman hayati, sementara konservasi dan restorasi ekosistem di kawasan tergradasi sebesar 15 persen dan konservasi ex-situ sebesar 4,8 persen.

Kementerian PPN/Bappenas memperkirakan pendanaan untuk pengelolaan keanekaragaman hayati mencapai USD 10 miliar. Arifin mengatakan, selama ini pembiayaan pengelolaan sektor ini hanya berasal dari pemerintah dengan total USD 300 juta. “Gap-nya sangat besar. Kekurangan ini perlu dibarengi dengan pengembangan skema pendanaan yang sudah ada atau menggali potensi sumber pendanaan yang bisa dikembangkan,” ujarnya.

Arifin mengatakan ecological financing reform bisa menjadi salah satu alternatif pembiayaan. Dalam skema ini, pajak lingkungan dan insentif diberikan ke wilayah yang telah mendukung konservasi, untuk memacu daerah lebih giat mengelola keanekaragaman hayati. Selain itu, menggabungkan program ini dengan agenda lainnya juga bisa mengurangi beban biaya, misalnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) dan agenda aksi perubahan iklim bisa dijalankan bersamaan untuk mendukung keanekaragaman hayati. “Salah satunya bisa dengan zakat yang sudah diimplementasikan dalam SDGs fiqih. Penyalurannya bisa dari hulu ke hilir untuk mempertahankan keanekaragaman hayati,” imbuh Arifin.