Pertumbuhan Ekonomi Inklusif: Mengentaskan Kemiskinan dan Ketimpangan Di Indonesia
Berita Utama - Rabu, 10 Oktober 2018
Kuta – Dalam beberapa tahun terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh stabil pada kisaran 5-6 persen dan berada pada peringkat kelima di kelompok negara emerging market. Kondisi ini menjadi modal utama dalam mendorong perbaikan standar hidup penduduk Indonesia karena pertumbuhan ekonomi yang stabil menjadi salah satu faktor pendorong menurunnya kemiskinan. Meskipun tingkat kemiskinan terus menurun hingga satu digit, yaitu 9,82 persen pada Maret 2018, namun jumlahnya secara absolut cukup besar karena Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Selain itu, masyarakat yang dikategorikan rentan atau berpendapatan antara 1–1,5 kali garis kemiskinan masih cukup besar. Saat terjadi guncangan seperti sakit, kehilangan pekerjaan, dan bencana alam, mereka sangat rentan kembali jatuh miskin. Kemiskinan saat ini terkonsentrasi di daerah pedesaan dan Kawasan Timur Indonesia, dengan tantangan antara lain seperti kondisi geografis yang lebih sulit, rentan terhadap bencana (longsor, gempa, tsunami, dan sebagainya), serta keterbatasan akses layanan dasar, prasarana ekonomi, dan institusi keuangan.
“Untuk itu, pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Kementerian PPN/ Bappenas berinisiatif menstandarkan kerangka kebijakan pembangunan ekonomi inklusif dengan mengembangkan indeks ekonomi inklusif (Inclusive Economic Growth Index). Indeks pembangunan Ekonomi Inklusif pada dasarnya merupakan ukuran yang komprehensif dalam melihat dan mengukur tingkat inklusivitas dari pembangunan ekonomi Indonesia saat ini dan ke depan, mencakup indikator tingkat nasional maupun disagregasinya sampai tingkat daerah,” Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam “Inclusive Economic Growth: Reducing Poverty and Inequality” forum, salah satu parallel event dalam rangka pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia yang diadakan Kementerian PPN/Bappenas dan didukung oleh Ford Foundation, IFAD, dan ADB, Rabu (10/10) di the Anvaya Resort, Kuta, Bali. Forum tersebut berperan sebagai ajang menyamakan pemahaman mengenai pertumbuhan ekonomi yang inklusif serta mencari solusi percepatan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan, yang merupakan salah satu isu pembangunan di Indonesia.
Inisiatif ini tentunya melengkapi upaya penting pemerintah lainnya seperti senantiasa menjaga stabilitas makro ekonomi, stabilisasi harga, penciptaan lapangan kerja produktif, menjaga iklim investasi, meningkatkan produktivitas sektor pertanian, hingga pengembangan infrastruktur di wilayah Timur. Untuk kelompok miskin dan rentan, Pemerintah juga terus berupaya menyempurnakan integrasi berbagai program bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran, serta memantapkan pelaksanaan jaminan sosial. Untuk memperluas kesempatan dan kemampuan penduduk untuk terus meningkat kesejahteraannya, berbagai program seperti permodalan, peningkatan keterampilan dan vokasi, kewirausahaan, dan kemitraan terus dikembangkan agar kelompok menengah Indonesia bertumbuh dan semakin kuat.
Dalam forum yang sama, Presiden IFAD Gilbert F. Houngbo menyebutkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia harus dilakukan secara tuntas, dari hulu ke hilir, mengingat kemiskinan dan ketimpangan tak hanya sekadar kondisi pendapatan yang rendah, tetapi juga akses dan kemampuan masyarakat untuk terus mempertahankan kondisi ekonomi agar tak semakin miskin. “Ekonomi inklusif sangat penting, untuk itu, sejak hampir 40 tahun lalu, IFAD dan Pemerintah Indonesia telah menginvestasikan lebih dari US$ 1 miliar untuk membantu lebih dari tiga juta rumah tangga pedesaan demi mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif. Kami berharap, kerja sama tersebut dapat membantu membuat masyarakat seperti petani dan nelayan skala kecil untuk dapat berdaya saing,” ujarnya.
“Terkait upaya penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan, Indonesia juga menyasar potensi besar pengelolaan dan pemanfaatan sistem keuangan syariah secara ekonomi makro. Saat ini, keuangan syariah di Indonesia telah berkembang di sektor perbankan, non-perbankan, pasar modal dan dana sosial. Sebagai negara dengan mayoritas beragama Islam, zakat dan wakaf dapat menjadi instrumen potensial pendukung pertumbuhan ekonomi inklusif di Indonesia. Zakat dapat mengurangi kesenjangan sosial secara konkret melalui distribusi aset dari orang yang berkewajiban (muzakki) kepada penerima (mustahik). Zakat juga dapat menjadi instrumen pengentasan kemiskinan dengan memanfaatkannya untuk pengembangan kegiatan ekonomi produktif kelompok miskin dan rentan,” ujar Menteri Bambang.
Wakaf di Indonesia telah terbukti mendukung pengembangan pemberdayaan masyarakat, tersebar di 435,768 lokasi di seluruh Indonesia dan mencapai 4,4 miliar meter persegi. Meskipun jumlah zakat yang dikumpulkan masih sekitar 2 persen dari potensinya, zakat tumbuh secara konsisten dari tahun ke tahun. Pada 2017, zakat tercatat mencapai 6,060 miliar rupiah, dengan total distribusi zakat mencapai 66 persen. Teknologi dan inovasi berbasis aplikasi saat ini juga telah mendukung pengembangan sistem pengumpulan zakat. Ke depan, pemanfaatan zakat dan wakaf untuk mendorong kegiatan produktif masyarakat perlu terus didorong agar pembangunan ekonomi yang inklusif dapat terwujud sehingga tingkat kemiskinan serta ketimpangan dapat ditekan.