Peran Sentral Profesi Berbasis Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika dalam Ekonomi Berbasis Pengetahuan
Berita Utama - Rabu, 04 Juli 2018
Jakarta – Saat ini, Indonesia sedang memasuki masa ekonomi berbasis pengetahuan atau Knowledge Based Economy (KBE), era dimana pengetahuan menjadi sumber daya strategis bagi kemajuan dan kesejahteraan suatu negara. Berbeda dengan sumber daya alam, pengetahuan tidak akan habis dan bahkan, pengetahuan dapat diciptakan kembali. Perubahan sangat cepat yang digerakkan oleh KBE ini berdampak luas pada semua sektor, termasuk sektor sains dan teknologi, dan tidak hanya sebatas pada spektrum teknologi digital saja. Untuk menjawab tantangan KBE, peran sentral profesi berbasis sains, teknologi, teknik, dan matematika atau Science, Technology, Engineering and Math (STEM) menjadi krusial dalam meningkatkan kontribusi pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi.
“Untuk itu, pemerintah mengharapkan peran sentral perguruan tinggi dalam menghasilkan lulusan-lulusan ahli keteknikan berbasis STEM. Dengan demikian, salah satu tantangan pokok bagi perguruan tinggi di Indonesia saat ini adalah kita mendidik generasi abad 21 dengan menggunakan kurikulum abad 20, di institusi perguruan tinggi abad 19 sehingga membutuhkan perubahan pola pembelajaran bidang STEM yang lebih responsif dan adaptif,” ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam Sidang Terbuka Institut Teknologi Bandung “Peringatan 98 Tahun Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia” di Aula Barat ITB, Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/7) pagi. Percepatan pembangunan nasional membutuhkan dukungan perguruan tinggi untuk melahirkan sarjana bidang keteknikan yang andal dan berkualitas. Hal ini semakin mendesak karena Indonesia dihadapkan pada liberalisasi sektor jasa, termasuk bidang keteknikan (insinyur) sebagai salah satu dari 8 profesi yang dinyatakan terbuka. Saat ini, proporsi insinyur terhadap total penduduk Indonesia masih sangat sedikit. Menurut data ASEAN Federation of Engineering Organizations (AFEO), dari total 750.000 insinyur yang ada di Indonesia, hanya sekitar 9.000 orang saja yang bekerja sebagai insinyur profesional.
Pangkalan Data Kemenristekdikti per Mei 2018 juga menunjukkan dominasi program studi ilmu sosial dan humaniora sehingga jumlah program studi sains dan keteknikan hanya sekitar 40,9 persen. Generasi muda Indonesia lebih banyak memilih kuliah dan menekuni bidang soft sciences atau ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang mencapai 79 persen atau 5,4 juta mahasiswa dibanding hard sciences atau sains-keteknikan yang hanya sekitar 21 persen atau 1,4 juta mahasiswa. Untuk itu, pengembangan program studi sains dan keteknikan yang sesuai kebutuhan terkini perlu terus diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan nasional. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan dan penelitian di perguruan tinggi, salah satunya dengan meningkatkan sarana prasarana seperti pemutakhiran peralatan laboratorium. Salah satu laboratorium termutakhir adalah laboratorium nano teknologi di ITB sebagai laboratorium nano teknologi PTN pertama di Indonesia.
Sejalan dengan Visi Pembangunan Nasional 2015-2019, yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”, pengembangan sains dan ilmu keteknikan menjadi kunci dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa. Pasalnya, pemanfaatan kekayaan sumber daya alam melimpah membutuhkan dukungan generasi muda yang mampu menguasai teknologi. Indonesia sangat potensial menjadi pusat penghasil teknologi material maju (komposit, nano), energi (nuklir, solar, angin, air), pangan (bibit unggul), ICT (multi- gadget, hologram), dan pertahanan (roket, transportasi). “Ketersediaan ahli-ahli keteknikan yang piawai dan berkualitas akan mampu mengoptimalkan beragam potensi sumber daya alam yang melimpah sehingga bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara lima besar di Asia dan 10 besar di dunia pada 2045,” tutup Menteri Bambang.