Pentingnya Pengetahuan untuk Prioritas Pemulihan Pascabencana

Direktur Tata Ruang dan Penanganan Bencana Kementerian PPN/Bappenas Sumedi Andono Mulyo menekankan pentingnya modal sosial, peran perempuan, dan pasar dalam pemulihan pascabencana di Palu. Peran perempuan dalam modal sosial terlihat ketika mereka harus bergotong royong, bertoleransi, berjejaring, dan menjalankan relasi sosial pascabencana. Perempuan akan bergerak lebih awal untuk mencari anak atau keluarganya, mencari cara untuk membersihkan puing-puing, serta mengupayakan makanan dan minuman untuk keluarganya. Perempuan juga akan memikirkan cara menambah penghasilan dan memberikan semangat kepada keluarga. Selain itu, pemulihan juga akan terjadi melalui pasar, di samping mengandalkan bantuan dan jaminan hidup pascabencana.

Sumedi mencontohkan pentingnya modal sosial yang terjadi di Miyagi, Sendai, ketika korban bencana memiliki semangat untuk bangkit dan saling bekerja sama. Pentingnya peran perempuan dan pasar juga terlihat saat pemulihan bencana di Yogyakarta, Lombok, dan Palu. “Bagaimana soal modal sosial dan perhatian dari kaum perempuan, dan juga aktivitas pasar itu mendorong pemulihan secara cepat. Jadi kekuatan modal sosial, perempuan dan pasar harus menjadi perhitungan dalam recovery setiap bencana, bahkan untuk Covid-19 pun peran perempuan dan pasar secara online menjadi penting,” terang Sumedi dalam Webinar EQ-Talk #5: Unique Challenges on Build Back Better for Community Resilience after the Palu Earthquake, Rabu (7/10).

Langkah berkelanjutan untuk pemulihan pascabencana tidak hanya fokus pada bantuan untuk pemulihan secara fisik, tetapi juga modal sosial. Sumedi menyadari informasi, data dan knowledge management yang harus dikuasai stakeholders menjadi penting dalam manajemen kebencanaan untuk memperkuat masyarakat. Proses pemulihan pascabencana berada di tahap rehabilitasi, rekonstruksi, dan relokasi. Sebelum melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi, penting untuk memahami kondisi wilayahnya untuk menyiasati proses pembangunan kembali. Jika tidak memungkinkan rehabilitasi dan rekonstruksi, maka relokasi harus dilakukan.

Pemerintah harus memutuskan program prioritas di tengah kurangnya informasi bahaya mengenai gempa, likuifaksi atau tsunami yang mungkin akan terjadi lagi. Pembangunan hunian tetap tidak lantas menjadi solusi, terutama bagi petani yang kehilangan mata pencahariannya akibat lahan yang rusak atau hilang. Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat menyusun rencana induk, antara lain kepastian data, koordinasi nasional, peta zona bahaya, perencanaan spasial, koordinasi lokal, programming, dan pemilihan tempat relokasi. Sedangkan tantangan yang harus dihadapi adalah pengaturan prioritas lokal, regulasi yang efektif, zonasi, perencanaan spasial dan lahan, serta targeting.