Pemerintah Indonesia Berkomitmen Mengarustumakan Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau

NUSA DUA – Menyadari bahwa perubahan iklim bisa menimbulkan potensi kerugian Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 20 persen, Pemerintah Indonesia telah berupaya keras untuk mewujudkan perencanaan pembangunan rendah karbon atau Low Carbon Development Indonesia (LCDI), yang pertama kali digagas dalam United Nations Conference on Climate Change (COP 23 UNFCCC) 2017 di Bonn, Jerman, di mana negara-negara didorong untuk menerapkan kebijakan progresif alam menghadang dampak negatif dari perubahan iklim, sekaligus menjaga keseimbangan ekonomi dan pembangunan sosial. “Sudah saatnya bagi Indonesia untuk menjalankan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mampu menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam konteks tersebut, Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menjadi yang terdepan dalam pembangunan berkelanjutan dengan menginisiasi LCDI dan bersiap untuk mengimplementasikan mekanisme green financing,” ungkap Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam pidato pembuka Conference on Low Carbon Development and Green Economy, yang diadakan sebagai bagian dari the 2018 International Monetary Fund-World Bank Group Annual Meetings di Nusa Dua, Bali, Indonesia, Kamis (11/10) pagi.

Acara tersebut diadakan Kementerian PPN/Bappenas sebagai wadah bagi pembicara dan peserta tingkat tinggi untuk berbagi pengetahuan tentang pembangunan ekonomi hijau, penerapan model bisnis yang mengedepankan pembangunan inklusif, pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), juga untuk memastikan pengelolaan dan restorasi sumber daya alam dalam ekosistem yang berjalan dengan baik menjadi dasar bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Acara ini juga menjadi ajang pengenalan akan sektor pendanaan Indonesia dan tantangannya, juga strategi mengimplementasikan pembangunan rendah karbon secara efektif. Salah satu isu kunci yang ditekankan dalam konferensi tersebut adalah penggunaan energi dan lahan, yang menghasilkan 80 persen dari GHG Indonesia. Temuan awal LCDI, sementara laporan lengkapnya akan diluncurkan pada Maret 2019 mendatang, dibangun berdasarkan riset global yang baru saja diluncurkan, yang membahas bagaimana penanganan perubahan iklim yang agresif berpotensi meraih keuntungan ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja dan penyediaan kesehatan yang lebih baik dapat menghasilkan selisih keuntungan US$ 26 triliun, dalam rentang saat ini hingga 2030, dibandingkan dengan proses rutinitas business as usual (NCE Report, 2018). Temuan tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia bukan pengecualian bagi aturan tersebut sehingga perubahan ke pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang yang diharapkan mampu memicu keuntungan sosial, ekonomi dn lingkungan bagi Indonesia, kini dirasa jauh lebih penting.

Mengingat dunia kita berubah dengan cepat, kita dihadapkan pada tantangan seperti kenaikan suhu bumi antara 1,5 hingga 4 derajat celcius yang akan mempengaruhi produktivitas pangan secara signifikan dan meningkatkan risiko bencana alam terkait perubahan iklim. tingginya tingkat deforestasi dan degradasi lahan serta polusi udara dari kebakaran lahan gambut dan bahan bakar minyak akan berdampak negatif bagi produktivitas dan kualitas kehidupan kita. Faktor-faktor ini membuat pentingnya LCDI bagi masa depan Indonesia menjadi tidak diragukan. “Untuk menggarisbawahi komitmen dalam mengimplementasikan LCDI, Kementerian PPN/Bappenas akan mengarusutamakan laporan LCDI tentang pembangunan rendah karbon ke dalam kerangka kerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Hal tersebut membuat rencana pembangunan tersebut adalah RPJMN pertama yang mengusung rendah karbon dalam sepanjang sejarah Indonesia, ujar Menteri Bambang. Laporan LCDI, tidak hanya berguna sebagai bahan acuan persiapan rencana pembangunan, tetapi juga sebagai akseleran pertumbuhan ekonomi yang cepat, pengurangan tingkat kemiskinan, dan penurunan GHG.

Hingga saat ini, terdapat dua proyek contoh implementasi awal LCDI. Pertama, proyek Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) di Jawa Tengah yang mengombinasikan aksi penanganan perubahan iklim dengan pendapatan melalui bio-digesters yang memproduksi bio-slurry dan kompos, juga meningkatkan kualitas tanah dan ekosistem untuk merestorasi bekas lahan pertambangan. Di waktu yang sama, biogas yang diproduksi bio-digesters digunakan untuk menyediakan energi ke rumah tangga masyarakat sekitar. Inisiatif kecil ini telah menandatangani pendapatan tambahan bagi warga sekitar dan menekan pengeluaran mereka, juga sekaligus mengurangi GRK. Kedua, penandatanganan komitmen provinsi berkelanjutan oleh pemerintah Papua Barat yang dilaksanakan pada International Conference on Biodiversity, Ecotourism and Creative Economy di Manokwari, Papua Barat, akhir pekan lalu. Komitmen ini sangat mencerminkan semangat LCDI dan menandakan awal kesuksesan untuk memulai upaya pembangunan rendah karbon. Pasalnya, sejarah mencatat, hutan Indonesia berkontribusi bagi emisi karbon di ekonomi negara. Sebagai salah satu provinsi dengan hutan yang masih lebat, Papua Barat masih menyimpan jumlah karbon yang luar biasa.

Lebih jauh, konferensi tersebut, sebagai salah satu upaya kolaboratif dari Kementerian PPN/Bappenas, UK Climate Change Unit (UKCCU), Global Green Growth Institute (GGGI), ICCTF, New Climate Economy (NCE), dan World Resources Institute (WRI) Indonesia, juga membahas sejumlah contoh proyek hijau yang dapat didanai perbankan untuk menghasilkan pembangunan berkelanjutan dengan keuntungan finansial yang menjanjikan. Saat ini, terdapat beberapa proyek inovasi hijau yang menunggu untuk diimplementasikan. Proyek tersebut meliputi proyek energi geotermal yang didanai anggaran pemerintah, Bank Dunia, dan hibah dari beberapa donor. Selain itu, restorasi lahan bekas kebakaran gambut juga digalakkan oleh Badan restorasi Gambut. Sukuk hijau juga diharapkan mampu mendanai pengelolaan limbah, transportasi berkelanjutan, pertanian berkelanjutan, dan lainnya.

Frank Rijsberman, Director General of GGGI, sebuah organisasi perjanjian antar pemerintahan yang mendukung implementasi pertumbuhan hijau diindonesia, menjelaskan bahwa meskipun modal domestik dan asing yang tersedia untuk pembangunan proyek hijau, namun pendanaan swasta membutuhkan dukungan kerangka kebijakan untuk meminimalkan risiko investasi dalam proyek inovasi hijau. “Dibutuhkan kolaborasi yang kuat dari berbagai institusi dan pemimpin global serta sektor swasta yang berkomitmen pada pertumbuhan hijau. Hal ini tentu akan membawa perubahan signifikan yang sangat dibutuhkan Indonesia untuk masa depan yang lebih baik, lebih bersih, dan lebih sejahtera,” ujarnya. Dengan nada yang sama, Lord Nicholas Stern, LCDI Commissioner and Co- chair of the Global Commission on the Economy and Climate, menambahkan bahwa, “Dunia kini tengah dihadapkan pada realitas tentang bagaimana pertumbuhan rendah karbon sangat baik bagi lingkungan juga ekonomi. Indonesia tidak membuang-buang waktu dalam mengejar keuntungan ekonomi dan sosial yang bisa dihasilkan dari langkah yang berani. LCDI menjadi contoh kuat dan efisien bagi seluruh dunia tentang bagaimana suatu negara dapat meningkatkan kehidupan dan taraf penghidupan warganya, dengan menjaga lingkungan untuk masa depan. Sepanjang sejarah saya dengan negara ini yang sudah berjalan dekade lamanya, saya tak pernah lebih yakin lagi bahwa masa depan yang lebih baik sudah ada di depan mata.”

Konferensi tersebut, dihadiri oleh sejumlah figur penting seperti Boediono (Wakil Presiden di era kedua jabatan kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono) Mari Elka Pangestu (mantan Menteri Perdagangan), Ngozi Okonjo-Iweala (Co-Chair of the Global Commission on the Economy and Climate), Paul Polman (CEO of Unilever and Co-Chair of the Global Commission on the Economy and Climate), Lord Nicholas Stern (LCDI Commissioner and Co-Chair of the Global Commission on the Economy and Climate), Matthew Rycroft (Permanent Secretary of Department for International Development of the UK Government), Naoko Ishii (CEO of the Global Environment Facility), Frank Rijsberman (Director-General of GGGI), Remy Rioux (CEO of Agence Française de Développement), dan Shinta Kamdani (Presiden Kadin Indonesia bidang Pembangunan Berkelanjutan), menutup acara dengan komitmen tinggi dari Pemerintah Indonesia dan partner pembangunan untuk meraih pertumbuhan ekonomi hijau dan berusaha sekuat tenaga bagi masa depan rendah karbon dengan memanfaatkan pendanaan publik dan swasta untuk aksi penanganan perubahan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.