Menteri Bambang: Masyarakat Perlu Mendalami Manfaat dan Resiko Virtual Currency

JAKARTA – Seiring dengan meluasnya transaksi online, pilihan uang elektronik pun menjadi semakin beragam, dan salah satunya dikenal dengan virtual currency. Uang digital ini diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter untuk kemudian diterima oleh anggota komunitas virtual tersebut. Hal ini dikatakan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dengan tema “Virtual Currency: Apa dan Bagaimana Risikonya bagi Masyarakat Luas?” di Ruang Serbaguna Bank Indonesia, Senin (26/3).

Selanjutnya beliau menambahkan, salah satu sifat dari virtual currency adalah kerahasiaan identitas pemilik, untuk itu penggunaan virtual currency berpotensi menjadi sarana pencucian uang. Risiko lainnya adalah nilai tukar dari virtual currency yang sangat fluktuatif, sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan yang berpotensi merugikan masyarakat. “Saat ini setiap negara, termasuk Indonesia, dihadapkan pada pilihan untuk memanfaatkan virtual currency. Untuk menentukan pilihan tersebut perlu dicermati secara seksama manfaat dan risiko virtual currency, baik jangka pendek atau jangka panjang,” tutur Menteri Bambang.

Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan menurut Menteri Bambang, yaitu: (1) manfaat yang dihasilkan dari virtual currency, termasuk peningkatan kecepatan dan efisiensi dalam sistem pembayaran dan transfer, serta potensinya dalam memperdalam inklusi keuangan; (2) sebagai alat tukar; dan (3) risiko dari virtual currency bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia. International Monetary Fund (IMF) menyampaikan bahwa risiko virtual currency bersumber dari lima faktor, antara lain: (1) tingkat transparansi yang rendah; (2) tingginya anonimitas pengguna; (3) tidak adanya regulator; (4) tidak ada underlying; serta (4) tingkat volatilitas nilai yang tinggi.

Sumber-sumber risiko tersebut menciptakan informasi tidak simetris yang rentan dieksploitasi oleh pihak lain. Dengan kondisi dan risiko yang dihadapi di atas, dapat dipahami bahwa kesiapan masyarakat untuk menerima virtual currency masih sangat terbatas. “Dalam kondisi demikian, pemerintah dan Bank Indonesia telah mengambil sikap untuk melarang penggunaan virtual currency sebagai alat pembayaran uang yang sah di Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2011 dan Peraturan BI No. 18/40/PBI/2016,” jelas Menteri Bambang.

Di akhir sambutan, Menteri Bambang mengatakan di masa yang akan datang sesuai perkembangan kemajuan teknologi yang pesat, penggunaan virtual currency sulit dihindari. Maka masyarakat luas perlu mendalami resiko pemanfaatannya dan memanfaatkan virtual currency dengan rambu-rambu regulasi yang tepat. “Melakukan edukasi mengenai karakteristik dan risiko dari virtual currency tidak hanya menjadi peran pemerintah dan otoritas moneter serta lembaga jasa keuangan. Semua pelaku ekonomi, termasuk wadah ikatan sarjana ekonomi seperti ISEI, berperan penting dalam mengedukasi masyarakat,” tutup Menteri Bambang.