Menteri Bambang: Konsep Kota Berkelanjutan Masuk Dalam RPJMN

JAKARTA – Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang disusun Bappenas telah memasukkan konsep pembangunan kota berkelanjutan. Hal ini diungkapkan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro saat memberikan materi kunci pada acara Seminar Nasional The Rise of Sustainable Cities di Kampus Podomoro University Rabu (21/8). Hadir dalam seminar tersebut rektor Universitas Podomoro Cosmas Batubara dan civitas akademika Universitas Podomoro.

“Kota berkelanjutan adalah konsep penting yang dapat kita gunakan bersama untuk memastikan bahwa kota-kota dan kawasan perkotaan masa depan, yang jumlahnya akan semakin banyak dan penghuninya akan terus bertambah, adalah kota-kota yang efisien, inklusif, direncanakan dengan baik serta sesuai dengan prinsip New Urban Agenda,” jelas Menteri Bambang.

Lebih lanjut Menteri Bambang menegaskan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir laju pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 2.75 persen per tahun, lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk nasional, sekitar 1.17 persen per tahun. Dengan menggunakan angka tersebut sebagai penentu proyeksi, maka pada tahun 2045, 82.37 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan, meninggalkan kurang dari 20 persen penduduk di perdesaan. Urbanisasi yang tidak terencana dengan baik akan meningkatkan permasalahan di perkotaan, seperti polusi, perluasan kawasan kumuh, kurangnya suplai penting bagi perkotaan, seperti air, pangan dan energi. “Dampak jangka panjang kondisi urbanisasi yang seperti ini adalah kesenjangan antarwilayah, antarkota, dan juga antara desa dan kota,” tegas Menteri Bambang.

Menteri Bambang juga mengatakan bahwa kawasan perkotaan tidak memiliki strategi dan manajemen dalam pengendalian dan pemanfaatan urbanisasi yang optimal. Permasalahan pembangunan perkotaan yang harus diwaspadai, antara lain: (1) Rendahnya pelayanan perkotaan; (2) Tingginya kemiskinan, yang meningkatkan permasalahan sosial serta angka kriminalitas; (3) Rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia dan modal sosial;  (4) Terbatasnya sumber pendanaan untuk pembiayaan pembangunan kota dan perkotaan; (5) Peraturan pembangunan perkotaan masih berbasis sektoral, belum terintegrasi untuk mengatasi masalah antarsektor dalam satu wilayah; (6) Inefisiensi penggunaan ruang dan sumberdaya terbatas lainnya yang menyebabkan tidak efisiennya pembangunan, meningkatnya risiko bencana, dan menurunnya kualitas lingkungan; serta (7) Rendahnya daya saing kota dalam menghadapi persaingan antar kota, antar wilayah, dan di tingkat global, karena belum berkembangnya ekonomi lokal kota.