Kementerian PPN/Bappenas Gelar Rakor Evaluasi RPJMN 2010-2014 Dari Sisi Ketimpangan Pembangunan
Berita Pembangunan - Rabu, 04 November 2015
Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan Bappeda Provinsi Bali menggelar Rapat Koordinasi Evaluasi RPJMN Tahun 2010-2014 dari Sisi Ketimpangan Pembangunan, di Kantor Bappeda Provinsi Bali, Selasa (3/11). Rapat ini bertujuan untuk mempertajam hasil pembahasan ketimpangan pembangunan di tujuh provinsi sebagai upaya memecahkan masalah ketimpangan pembangunan daerah dan nasional. Adapun ketujuh provinsi tersebut adalah DI Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Bali, dan Jawa Timur.
Penentuan tujuh provinsi tersebut berdasarkan kriteria tingginya ketimpangan tingkat pendapatan antar penduduk (Gini Rasio) periode 2009-2014, ketimpangan pembangunan yang tinggi atau pembangunan antar kabupaten/kota yang tidak merata selama periode 2009-2013 (Indeks Williamson), tingkat PDRB per kapita yang rendah periode 2010-2014, dan persentase penduduk miskin yang tinggi selama periode 2009-2013.
“Suatu saat, ketimpangan itu tidak hanya diukur dari Gini Rasio, Indeks Williamson, PDRB per kapita, ataupun persentase penduduk miskin saja. Melainkan ketimpangan dari sisi pelayanan publik. Misalnya, masyarakat di Bali mendapatkan layanan kesehatan dengan dokter yang lengkap, sementara di Jawa Timur tidak seperti itu, apalagi di Gorontalo. Pembuatan KTP di Bali hanya tiga jam, sementara di Gorontalo memakan waktu hingga tiga hari. Jadi, Standar Pelayanan Minimum (SPM) antar daerah dapat timpang,” jelas Deputi Pemantauan, Evaluasi, dan Pengendalian Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas, Roni Dwi Susanto.
Beliau menjelaskan masih perlunya mempercepat pemerataan pembangunan antar wilayah karena hal ini selaras dengan Agenda Nawa Cita yang ketiga, yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”, terutama dalam: (1) menciptakan pertumbuhan inklusif, (2) memperbesar investasi padat pekerja, (3) memberikan perhatian khusus kepada usaha mikro, (4) menjamin perlindungan sosial bagi pekerja informal, (5) meningkatkan dan memperluas pelayanan dasar bagi masyarakat kurang mampu, (6) memperluas ekonomi perdesaan dan mengembangkan sektor pertanian, dan (7) menjaga stabilitas harga dan menekan laju inflasi.
“Ke depan, kami berharap Bappenas bersama Bappeda dan Perguruan Tinggi dapat mengeluarkan suatu policy paper dan rekomendasi yang konkret dalam bentuk action plan untuk mengatasi ketimpangan di tujuh provinsi, dimana masing-masing provinsi memiliki karakter dan potensi yang berbeda-beda,” jelas Deputi Roni.
Terkait pelaksanaan evaluasi, Deputi Roni memberikan beberapa catatan penting. Pertama, perlunya pedoman evaluasi bersama, sehingga Bappenas dan Bangda tidak mengeluarkan pedoman evaluasi sendiri-sendiri. Kedua, terkait hubungan kelembagaan dalam implementasi sistem pengendalian dan pemantauan pembangunan nasional yang diatur dalam lima Perpres, perlu dibagi siapa yang akan melakukan quality assurance dan manajemen resiko, sehingga K/L dan Pemerintah Daerah tidak disibukkan dengan pembuatan berbagai laporan sejenis dalam format yang berbeda. Ketiga, perlu membudayakan evaluasi sebagai masukan bagi perencanaan. Keempat, pentingnyalogframe outcome structure guna mempermudah evaluasi.
“Alangkah indahnya kalau teman-teman perencana punya logframe outcome structure, sehingga kita (Bappenas) dapat melakukan evaluasi dengan lebih mudah. Jangan sampai untuk mencapai kedaulatan pangan, petani dilatih, tapi tidak tahu petak sawah yang akan dikerjakan. Jangan sampai membuka lahan sawah baru, tapi tidak tahu jaringan irigasi dan pengairannya,” jelas Deputi Roni.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Kementerian PPN/Bappenas, Yohandarwati menyampaikan beberapa catatan. “Dari tujuh provinsi, ada empat provinsi yang perlu mendapatkan perhatian, a.l. Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Bali, dan Jawa Timur. Indeks Gini dan Indeks Williamsonnya masih 'merah', meskipun persentase penduduk miskin sudah menurun,” jelas beliau.
Di antara tujuh provinsi, Jawa Timur menunjukkan Indeks Williamson tertinggi. Dari aspek ketimpangan pertumbuhan ekonomi, Sulawesi Tenggara menunjukkan peningkatan paling tinggi. Kemudian, Gorontalo menunjukkan Indeks Kedalaman Kemiskinan tertinggi (rata-rata pengeluaran penduduk miskin relatif jauh dari garis kemiskinan), sementara Bali menunjukkan Indeks Kedalaman Kemiskinan terendah. Dari aspek ketimpangan pendapatan, DI Yogyakarta, Gorontalo, Sulawesi Selatan, dan Bali masih berada di atas rata-rata nasional.
Terkait keluaran dari rapat tersebut, Direktur Yohandarwati menjelaskan beberapa rencana tindak lanjut. “Bappeda bersama BPS provinsi terkait sepakat untuk memperdalam dan mengenali permasalahan dan potensi di daerah masing-masing dalam konteks ketimpangan. Adapun rencana output dari rapat ini adalah (1) tersusunnya profil daerah yang berisi kebijakan daerah dalam mengatasi ketimpangan pembangunan, (2) analisis ketimpangan pembangunan, dan (3) policy brief dalam mengatasi ketimpangan yang nantinya akan disampaikan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas kepada Presiden RI,” pungkas Direktur Yohandarwati.