HLF MSP: Sektor Bisnis Kunci Pembangunan Negara Berkembang dan Kerjasama Selatan-Selatan

BALI – Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Pahala Nugraha Mansury menekankan peran penting sektor bisnis dalam mendorong pembangunan di negara berkembang dan memperkuat kerja sama Selatan-Selatan. Di High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF MSP) 2024, Wamenlu Pahala menjelaskan partisipasi aktif para pelaku bisnis sangat penting untuk membuka potensi ekonomi negara berkembang di Global South dan menciptakan ekonomi global yang lebih terintegrasi dan tangguh. “Pertanyaannya adalah bagaimana kita di negara berkembang dapat memanfaatkan sepenuhnya sumber daya yang kita miliki. Untuk memenuhi potensi ini, negara berkembang harus bergerak naik dan menjadi bagian yang lebih penting dari rantai pasokan dunia. Negara berkembang tidak seharusnya hanya terbatas sebagai produsen dan pengekspor bahan mentah,” jelas Pahala dalam sesi paralel tematik “Redoubling Business Actors Participation in the Global Supply Chain”, Selasa (3/9).

Pahala menambahkan poin krusial dalam meningkatkan partisipasi sektor bisnis di negara berkembang untuk mengamankan peran yang lebih besar dalam rantai pasokan global, melibatkan sektor swasta, pemerintah, lembaga keuangan internasional, dan filantropi. Termasuk integrasi ekonomi yang lebih baik dan akses pasar yang lebih luas di antara negara berkembang, memastikan rantai pasokan yang tangguh, memfasilitasi berbagi keahlian dan mempromosikan peluang perdagangan dan investasi, mengembangkan akses yang lebih besar ke teknologi dan berbagi pengetahuan, serta mengadopsi skema pembiayaan inovatif untuk mengatasi kesenjangan pembiayaan.

“Saya pikir dengan membuat kemajuan yang stabil pada lima area ini akan sangat berkontribusi dalam menggandakan partisipasi para pelaku bisnis, memungkinkan negara berkembang untuk naik dalam rantai nilai, dan meningkatkan integrasi negara berkembang ke dalam ekonomi global, membalikkan tren fragmentasi ekonomi, menekankan perannya dalam rantai pasokan global, dan mencapai pertumbuhan yang kuat dan pembangunan berkelanjutan ke depan,” jelas Pahala.

Ketua Kamar Dagang Indonesia Arsjad Rasjid mencatat Indonesia perlu diversifikasi portofolio perdagangannya, bukan hanya dengan meningkatkan keterlibatan sektor swasta, tetapi juga dengan memperhatikan eksternalitas. Arsjad mencatat perlunya mengidentifikasi keunggulan kompetitif Indonesia serta mengidentifikasi kelemahan komoditas atau pasar tertentu, yang disesuaikan dengan tren masa depan lanskap ekonomi. Indonesia juga perlu melihat industri UMKM dengan perspektif yang lebih luas dan berbeda, dan mengambil contoh negara berkembang lainnya di mana UMKM bersaing lebih efektif dan berkontribusi lebih signifikan dalam rantai nilai global.

Dalam skala lain, Indonesia juga perlu memperhatikan peningkatan hambatan tarif dan non-tarif, yang dapat mendorong Indonesia mengejar perjanjian perdagangan baru dengan pasar dan mitra dagang non-tradisional, sambil juga mengoptimalkan perjanjian perdagangan yang ada dan memastikan ketentuannya dipahami sektor swasta yang potensial. “Ini adalah masalah di banyak tingkatan, mulai dari pemahaman, kesadaran, kompatibilitas dalam aplikasi bisnis, hingga koordinasi di antara para pemangku kepentingan,” kata Arsjad. “Meskipun reformasi terus dilakukan secara internal, kami masih perlu mengatasi beberapa masalah utama seperti regulasi yang tidak konsisten dan insentif pasar yang tidak sesuai,” tambahnya. Turut hadir Menteri Perdagangan dan Industri Republik Rwanda Prudence Sebahizi, Penasihat Utama di Economic Institute of ASEAN and East Asia (ERIA) Li Yan Ing, serta Wakil Direktur Global Alliance for Trade Facilitation Jose Raul Perales sebagai panelis.