HLF MSP: Infrastruktur Logistik Berkelanjutan Jalan Menuju Kemajuan Ekonomi Global

BALI – Infrastruktur logistik yang kuat dan berkelanjutan di negara berkembang sangat penting bagi optimalisasi penguatan hubungan dagang dan ekonomi global. Transportasi laut melayani lebih dari 80 persen perdagangan barang dunia, menjadikan pelabuhan krusial bagi perdagangan dan ekonomi global. Menurut United Nations Trade and Development (UNCTAD), negara berkembang memiliki 60,1 persen kapal komersial dunia, sementara negara maju hanya 32,1 persen. Namun, dalam Logistics Performance Index 2023 dari Bank Dunia, negara maju menduduki peringkat tertinggi, dan sebagian besar negara berkembang dan LDC berada di bawah peringkat 20.

Menurut Sekretaris-Jendral UNCTAD Rebeca Grynspan, alasan negara berkembang sangat rentan terhadap gangguan rantai pasokan juga disebabkan biaya transportasi maritim di negara-negara ini yang 32-35 persen lebih tinggi dari rata-rata global, dan di negara berkembang khususnya kepulauan juga mengalami dampak inflasi lima kali dibandingkan negara lain karena biaya maritim yang lebih tinggi. Tiga aspek utama yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan rantai pasokan terletak pada ketahanan, inklusivitas, dan keberlanjutan bagaimana rantai pasokan dibangun dan dipertahankan.

"Ini urgensi untuk meningkatkan ketahanan, inklusivitas, dan keberlanjutan rantai pasokan global. Kita perlu berinovasi menemukan solusi yang dapat menurunkan biaya yang dihadapi berbagai negara dalam aktivitas konektivitas dan perdagangan mereka," jelas Rebeca dalam sesi paralel tematik “Connecting the South: Enhancing Logistics Connectivity to Support Trade in Developing Countries” HLF MSP 2024, Selasa (3/9).

Rebeca menambahkan rantai pasokan global yang dibangun harus kuat, fleksibel, dan cukup adaptif. Rebeca mencatat beberapa negara kehilangan waktu 10 tahununtuk  perbaikan kemiskinan dan ketimpangan. Artinya, perlunya diversifikasi pemasok dan pusat produksi, promosi perdagangan regional, dan pengembangan infrastruktur berkelanjutan yang mampu membuka pasar di dalam negara itu sendiri.

"Tetapi semua itu membutuhkan pendanaan, sumber daya, investasi, terutama untuk adaptasi iklim dan infrastruktur. Sebagai indikator, jumlah total dana pembiayaan iklim global sekitar USD116 miliar, di mana USD32 miliar digunakan untuk adaptasi. Sementara itu, biaya adaptasi di negara berkembang adalah 10-18 kali lebih besar daripada aliran pembiayaan saat ini. Oleh karena itu, mari kita bekerja sama untuk memastikan perdagangan tidak hanya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kekuatan inklusi, tanpa meninggalkan siapa pun," jelas Rebeca.

Turut hadir Wakil Menteri Hubungan Internasional dan Kerjasama Afrika Selatan Alvin Botes, CEO PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, Direktur Bank Pembangunan Islam Indonesia Amer Bukvic, Asisten Kepala Eksekutif/Pejabat Risiko Utama Otoritas Maritim dan Pelabuhan Singapura Tan Hoe Soon, Sekretaris Negara Kementerian Perencanaan Kamboja Poch Bunnak, dan Ekonom Senior Bank Dunia Csilla Lakatos.