Dihuni 30,24 Juta Orang, Masihkah Metropolitan Jakarta Layak Huni?

JAKARTA – Kawasan Metropolitan Jakarta atau yang dikenal dengan Jabodetabek merupakan kawasan terpadat kedua di dunia. Kota ini berselisih hanya 7,59 juta dari populasi penduduk Metropolitan Tokyo yang berjumlah 37,9 juta. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro saat menjadi pembicara utama pada acara Sarasehan untuk Negeri (SERUNI), di Auditorium Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Kamis (5/10).

Lebih lanjut Menteri Bambang menegaskan bahwa Jakarta menanggung beban yang berat, baik dari segi lingkungan, ekonomi, dan sosial. “Bayangkan 30 juta penduduk bersliweran di (Kawasan Metropolitan-red) Jakarta dalam satu waktu,” tegas Menteri Bambang.

Selain persoalan penduduk yang besar, kawasan ini juga tidak memiliki sistem transportasi yang handal dengan jumlah kendaraan bermotor yang banyak dan mengakibatkan kemacetan tinggi. “Kerugian di Jakarta akibat kemacetan (mencapai) lima miliar pertahun” ujarnya.

Selain itu, Menteri Bambang mengatakan bahwa konsep Mass Rapid Transport (MRT) yang sekarang tengah dibangun di tengah Jakarta sudah direncanakan semenjak dia masih belajar S3 tahun 1997 di University of Illinois at Urbana Champaign di Amerika. “Kita sudah berada pada kondisi yang salah, kita terlambat hampir 30 tahun dalam membangun transportasi massal,” tegasnya.

Selain itu, berdasarkan data BPS 2016, Kemenhub 2016, JICA 2014 yang diolah Bappenas menunjukkan pada 2010 pangsa angkutan umum di kawasan Jakarta dan sekitarnya sangat rendah (<20 persen) dengan dua persennya angkutan umum berbasis rel (Kereta). Sebagai perbandingan kota besar lainnya, tahun 2011 pangsa angkutan umum di Hongkong mencapai 88 persen dengan 25 persennya angkutan berbasis rel. Penduduk di Tokyo yang mencapai 37,9 juta orang, dan lebih dari 50 persen menggunakan transportasi umum dengan 48 persen berbasis rel. “Kita memberi ruang pada angkutan yang daya angkutnya minim (angkot dan sepeda motor),” tutur Menteri Bambang.

Selain permasalahan angkutan kota dan kemacetannya, Jakarta juga menanggung persoalan lingkungan dasar yaitu sistem pengolahan limbah. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007-2016 menunjukkan fakta bahwa cakupan sewerage system (pengolahan alir limbah) di Jakarta hanya dua persen dan menjadi terendah di kawasan Asia Tenggara.

“Bandingkan dengan Kuala Lumpur, ibukota negeri Jiran ini sudah mampu mengolah limbahnya dengan cakupan 70 persen. Diikuti oleh Bangkok 54 persen, Manila 30 persen, dan Ho Chi Minh 10 persen. Untuk mengurangi beban Jakarta, maka Bappenas melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 merancang lima kawasan metropolitan di luar Jawa-Bali,” tutup Menteri Bambang.