Bappenas: Kolaborasi Lintas Sektor Kunci Turunkan Tingkat Perkawinan Anak Ke 6,94 Persen Pada 2030

JAKARTA – Untuk meningkatkan implementasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) kepada pemerintah daerah dan jaringan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), Kementerian PPN/Bappenas didukung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Kemitraan Australia–Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan melalui program MAMPU menyelenggarakan Konferensi Nasional “Sinergi dan Kolaborasi dalam Pencegahan Perkawinan Anak” secara daring pada Rabu (2/9). “Kolaborasi lintas sektor yang melibatkan institusi pemerintah dan nonpemerintah menjadi kunci keberhasilan upaya penurunan angka perkawinan anak di Indonesia,” ujar Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi Sardjoko.

Sesi pertama dalam konferensi ini membahas kebijakan penurunan angka perkawinan anak. Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum menyampaikan bahwa upaya secara kolektif menjadi solusi penurunan tingkat perkawinan anak di Indonesia yang masih cukup tinggi, tercatat sebesar 10,82 persen pada 2019. Angka ini ditargetkan menurun menjadi 8,74 persen di 2024 sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan 6,94 persen di 2030, mengacu pada target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs). Sesi ini turut membahas hasil penelitian Program MAMPU bersama The University of Melbourne sepanjang 2020 yang menunjukkan konsekuensi perkawinan anak, baik pada anak laki-laki maupun perempuan, terhadap berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. “Salah satu hasil penting penelitian menunjukkan bahwa anak yang menunda usia perkawinannya berpotensi untuk berpartisipasi 1,6-1,8 tahun lebih lama dalam pendidikan dan memiliki upah 20-25 persen lebih tinggi dibandingkan jika menikah di usia anak. Perkawinan anak juga meningkatkan risiko bayi meninggal dalam kurun waktu 12 bulan dan stunting jika mereka bertahan hidup,” imbuhnya.

Angka perkawinan anak 2019 tersebut sudah mengalami penurunan dari tahun 2018, yakni 11,21 persen untuk prevalensi perkawinan anak perempuan yang menikah di bawah 18 tahun. Namun, di periode yang sama, Survei Sosial Ekonomi Nasional mencatat prevalensi perkawinan anak perempuan yang menikah di bawah 15 tahun meningkat dari 0,56 persen (2018) menjadi 0,57 persen (2019). Tantangan ini menjadi pemantik untuk memperkuat kolaborasi melalui penerapan strategi-strategi yang efektif untuk mencegah perkawinan anak. Stranas PPA telah diluncurkan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati pada Februari 2020 sebagai upaya strategis dalam menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia. Stranas PPA mengusung lima strategi kunci untuk pencegahan perkawinan anak, yakni: 1) Optimalisasi Kapasitas Anak; 2) Lingkungan yang Mendukung Pencegahan Perkawinan Anak; 3) Aksesibilitas dan Perluasan Layanan; 4) Penguatan Regulasi dan Kelembagaan; dan 5) Penguatan Koordinasi Pemangku Kepentingan. Stranas PPA menjadi rujukan bagi para pemangku kepentingan dalam melakukan kolaborasi pencegahan terjadinya perkawinan anak demi masa depan dan kualitas bangsa yang lebih unggul.

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Rohika Kurniadi Sari menyatakan kesiapan KemenPPPA sebagai koordinator teknis Stranas PPPA untuk mengawal implementasi kebijakan di tingkat nasional dengan turunan rencana aksi di tingkat regional dan daerah sekaligus memperkuat sinergi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak. “Kita perlu mendorong keikutsertaan berbagai pihak, terutama dari Forum Anak, Pusat Pembelajaran Keluarga/PUSPAGA, Sekolah Ramah Anak, serta tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam meningkatkan kesadaran bahaya perkawinan anak” ujarnya.

Melalui Konferensi Nasional “Sinergi dan Kolaborasi dalam Pencegahan Perkawinan Anak”, pemerintah membangun dialog kerja sama dengan para pemangku kepentingan di tingkat daerah untuk memprioritaskan isu perkawinan anak dan mendorong strategi implementasi yang tepat, sesuai perkembangan kondisi daerah masing-masing. Konferensi ini juga dihadiri Counsellor for Proverty and Social Development Aedan Whyatt serta perwakilan pemerintah daerah yakni Dinas PPPA Provinsi Sulawesi Selatan, Bappeda Provinsi Jawa Barat, tokoh agama dan masyarakat, serta OMS mitra MAMPU yang mewakili masyarakat di tingkat akar rumput, seperti Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, Yayasan BaKTI, dan Muhammadiyah. Selama ini, OMS tersebut secara aktif bekerja untuk pencegahan perkawinan anak bersama Program MAMPU di 700 desa yang tersebar di 90 kabupaten/kota dari 27 provinsi di Indonesia.